Thursday, October 23, 2014

Kenapa Tidak "Setelah Palestina, Mari Kita Bantu Papua"?

Sejak kemunculannya di dunia medsos, saya sudah gak suka. Pasalnya, saya tahu kalau itu cuma alasan pembenaran saja untuk menghalalkan (maaf) tindakan-tindakan kikir si pelontarnya. Karena mindset seperti "untuk apa sedekah ke Gaza, negara sendiri aja masih banyak masalah" ini berbahaya. Ingat, sesuatu yang besar itu selalu berawal dari yang kecil. Maka, mindset sok nasionalis tadi, pasti dimulai dari perilaku berskala kecil yang berpola serupa, semisal "untuk apa sedekah ke sono, tuh di jalan-jalan yang lo lewatin masih banyak anak kecil jualan koran gak sekolah", atau "untuk apa sedekah ke sono, tuh masjid di deket rumah lo sendiri masih reot", yang pada akhirnya "untuk apa sedekah ke tetangga sebelah, toh emak bapak lo masih butuh duit...... (buat beli motor gede 5 biji lagi!)". Plak! Yang terakhir ini. Dari yang terakhir ini bisa terlihat dimana letak "kikir" itu. Dari yang terakhir ini bisa terlihat, bahwa di balik quote yang saya bilang "sok nasionalis" tadi, ada kepelitan tingkat tinggi. Ada ketidakpedulian teramat sangat (kalau gak saya bilang,"ada ketidaksukaan tersendiri pada golongan yang secara kompak berbondong-bondong membantu Palestina"), yang untuk terhindar dari rasa bersalah (mungkin), maka tercetuslah sebuah posting yang dari judulnya saja maknanya sudah menyudutkan: "Woy,  lo yang bela Palestina, buka mata lo, liat negara lo dulu dong! Yang jauh-jauh lo bantuin habis-habisan. Untuk Papua, lo kemana???" (Karena gw jantan, maka gw blak-blakan. Berikut artikelnya http://kask.us/g1sNk).

Entahlah. Semenjak atmosfir Pilpres mengudara, saya perhatikan, bejibun rakyat Indonesia alih profesi jadi cenayang, yang mana mereka merasa tahu akan hati seseorang atau bahkan masa depan. Dan ngotot pula, padahal "terawang"-annya salah. Mau bukti? Capres jagoan saya, Prabowo Subianto, --Karena gw jantan, maka gw blak-blakan. Gw sebut dong namanya-- yang tempo hari menyumbangkan 1M ke Palestina, memiliki 8000 anak asuh di Papua dari zaman dulu kala. Ust. Yusuf Mansur, donatur rumah tahfidz untuk Palestina yang sekarang sudah hancur kena rudal pada serangan terakhir Israel, ternyata telah menyumbangkan 5 rumah yang sama untuk Papua. Kalau takut saya hoax, silakan cek tulisan sahabat saya, Toni Tegar Sahidi, di Kompasiana.

Lagipula, seperti yang sahabat Toni bilang, kebaikan itu tidak pandang bulu, Kawan. Mereka yang baik, tidak akan mempermasalahkan kepada siapa mereka bersedekah duluan, karena mereka tahu, kemanapun harta itu sampai, balasannya adalah pahala di sisi Tuhannya. Mengejar hadiah yang tak ternilai inilah, maka, mereka yang baik tidak hanya sekali-dua kali bersedekah, namun, di sepanjang hidupnya, sebisa mungkin, dalam kondisi apapun, apakah sedang lebih banget atau kurang banget, mereka selalu bersedia menyisihkan apa yang mereka punya untuk kemaslahatan sesama. Sahabat Toni yakin dengan itu, sebagaimana saya yang juga meyakininya. Jadi, jangan dikatakan mereka yang membela Palestina itu lupa dengan negaranya, karena sesungguhnya mereka lebih peduli lingkungan sekitarnya dibandingkan kalian-kalian, wahai para pencibir yang kedermawanannya diragukan. Hati-hati, jika saya ambil sampel berupa dua orang yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya, judul posting yang kalian jadikan dasar itu (tanpa menyertakan maknanya ya) sudah masuk kategori fitnah. Dan menurut Islam, dosa fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Rakyat Palestina jelas kehilangan satu hak dasar manusia yang amat penting, yaitu rasa aman. Coba bayangkan bagaimana kalau duduk tak tenang, berdiri tak tenang, tidur tak tenang, makan tak tenang, buang air tak tenang, berhari-hari, berminggu-minggu, karena dibayang-bayangi oleh hujan rudal dari langit yang tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Sementara, warga Papua kita, tak bisa dipungkiri, tetap diberkahi dengan rasa aman itu. Iya, mereka memang kelaparan, mereka memang tidak sanggup mengenyam pendidikan, mereka memang tidak mampu berobat, mereka memang tidak, tidak, dan tidak, tetapi mereka masih bisa mencicipi kedamaian. Mereka masih bisa tertidur pulas dan terbangun tanpa todongan senapan di pagi hari. Mereka masih bisa berjalan di bawah indahnya sinar matahari sembari bercanda dengan tetangga. Anak-anak mereka masih bisa bermain di lapangan terbuka tanpa khawatir akan diberondong peluru. Mereka masih bisa makan, walaupun minim, tanpa ditemani suara ledakan dan jeritan kesakitan. Sekarang tengoklah Palestina. Dimana wanita dan anak-anak mati berlumuran darah adalah pemandangan biasa. Dimana rumah-rumah beserta isinya hancur lebur adalah peristiwa rutinnya. Dimana gencatan senjata, siapapun pengusulnya, tidak akan menjamin apapun, karena toh sudah berulang kali itu dilanggar. See? Kawan, lihatlah kalau rasa aman itu sebenarnya mahal. Kita saja yang sudah terlalu lama menafikan dan luput mensyukurinya sehingga berani berkesimpulan "Palestina tidak perlu dibantu".

Saya gak mau membanding-bandingkan sebenernya, karena saya tahu penderitaan itu betapapun kecilnya tetep aja sakit. Tapi apa boleh buat. Menurut saya, kondisi Palestina jauh lebih buruk daripada keadaan masyarakat di Papua. Jika orang Papua kelaparan karena kemiskinannya, maka orang Palestina kelaparan karena ladang bercocok tanamnya rusak atau hancur akibat perang (kalaupun ada cukup makanan, saya sangsi apakah distribusinya bisa berjalan lancar dengan "cara normal"). Jika orang Papua kehausan karena persediaan air bersihnya kering atau tercemar limbah tambang, maka orang Palestina kehausan juga karena sumber air bersihnya yang telah habis atau luluh lantak dirudal, ditambah blokade dan politik air bertahun-tahun dari musuh. Jika orang Papua tidak bisa sekolah karena (lagi) kemiskinannya, maka orang Palestina juga tidak bisa sekolah karena mereka sibuk mempertahankan negaranya, ditambah dengan sudah rata dengan tanahnya infrastruktur pendidikan yang ada. Jika orang Papua tidak bisa berobat karena (dan lagi) kemiskinannya, maka orang Palestina pun demikian, dimana sangat sering rentetan peluru lebih cepat efeknya ketimbang datangnya tindakan medis yang serba terbatas tenaganya, peralatannya, maupun obat-obatannya. Jika orang Papua tidak punya rumah karena lahannya diambil alih para pengusaha dengan ganti rugi yang tidak pantas, maka... perlukah saya bilang berapa jumlah hunian dan fasilitas publik Palestina yang sekarang hanya tinggal debu saja? Dan perlukah saya bilang sekali lagi? Kalau orang Papua kita masih dianugerahi oleh satu pemberian Tuhan yang amat mewah untuk Palestina saat ini, yaitu rasa aman? Lalu, perlukah saya bilang sekali lagi? Kalau rasa aman itu sebenarnya mahal? Kita saja yang sudah terlalu lama menafikan dan luput mensyukurinya sehingga berani berkesimpulan "Palestina tidak perlu dibantu".

Kualitas Sumber Air Jalur Gaza (Quality of Gaza Strip's Water Source)

Politik Air Tepi Barat (Water Politic of West Bank)

Jalan "Israel" dan "Palestina" ("Israeli" and "Palestinian" Road)

Wahai para pencibir yang kedermawanannya diragukan, salahkah saya? Salahkah kami yang bahu membahu menolong Palestina? Iya? Ini bukan masalah nasionalisme, Kawan. Ini masalah nurani. Terserah apapun judge kalian terhadap kami, yang jelas, insyaa Allah, hati kami tidak buta, dan tidak juga dibutakan. Malah mungkin, kamilah para penegak dasar-dasar Republik ini, karena kelakuan kami merupakan cermin dari salah satu cita-cita Indonesia yang tersirat pada paragraf pertama Pembukaan UUD 1945: menolak penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain.

Saya yakin kita semua mengenal apa itu balas budi, termasuk juga kalian, para pencibir yang kedermawanannya diragukan. Maka itu, jika semua penjelasan serta visualisasi fakta perihal Palestina yang telah saya beberkan masih belum cukup untuk kalian, saya sebutkan peran krusial Palestina bagi Indonesia: merekalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan kita, yang mana, semenjak itulah, berduyun-duyun negara-negara lain menganggap bahwa Indonesia itu ada. Setelah semua itu, Kawan, inikah balasan untuk "teman pertama" kita? Sebuah cibiran? Barangkali, tanpa pengakuan itu, kita sekarang, sama dengan mereka, masih berperang. Barangkali, tanpa pengakuan itu, anak-anak kita sekarang, sama dengan mereka, dengan batu di tangan melempari tank-tank penjajah. Barangkali, tanpa pengakuan itu, saudara-saudara kita sekarang, sama dengan mereka, tergeletak bersimbah darah di jalan-jalan.

Lalu, perlukah saya bilang sekali lagi? Rasa aman itu sebenarnya mahal, Kawan. Kita saja yang sudah terlalu lama menafikan dan luput mensyukurinya sehingga berani berkesimpulan "Palestina tidak perlu dibantu".

Saya akan merasa sangat sedih kalau ternyata sang thread starter adalah seorang muslim. Sangat sedih sekali... mengingat Anda, yang dipersaudarakan dengan muslim Palestina yang tiap harinya terluka nun jauh di sana, karena iman pada Tuhan yang sama, ternyata tidak sedikitpun menyimpan duka atas masalah mereka, bahkan turut menyalahkan saudara-saudara seagamamu yang lain yang justru lebih punya empati.

Bertobatlah, engkau sekalian, yang menafikan nikmat aman dari Tuhanmu. Terkhusus teman-teman muslim, coba renungkan kembali QS 55:16.


Gambar: Visualizing Palestine | Forgotten Facebook Groups

No comments:

Post a Comment