"untuk apa sedekah ke Gaza, negara sendiri aja masih banyak masalah..."
Desain default tabiat manusia adalah tidak pernah puas. Jangan pernah pungkiri itu. Gua pastikan, manusia terkaya sekalipun, yang biaya makan, pulsa, bensin dan kesehatannya telah terjamin, yang bebas keluar masuk negara manapun tanpa pusing, yang bisa sesuka hati membeli barang-barang tanpa harus memperhatikan harganya lagi, tetap masih ingin punya sesuatu di dalam lubuk hatinya, apakah itu mobil sport yang lebih cepat, atau personal computer yang paling canggih, atau saham yang lebih besar di sebuah perusahaan, atau bahkan pulau atas nama sendiri. Jadi, jika kita baru akan memberi setelah kebutuhan internal kita dan sekeliling kita terpenuhi, maka, kapankah kita bisa memberi? Gua pastikan lagi, sampai mati pun mungkin tidak.
Inilah sebabnya gua katakan, mindset sok nasionalis begini berbahaya. Karena ia menuntun kita pada sifat kikir. Seharusnya kita berkaca pada pribadi Rasul dan para sahabat yang rela sampai jatuh miskin dan susah makan untuk memperhatikan sesamanya, tanpa peduli dari antah berantah manakah ia berasal. Bukannya malah memandang negatif, bukannya malah membangun opini menyakitkan, tentang mereka yang sudah berpayah-payah mengorbankan hartanya untuk orang-orang yang lemah.
Semasa sekolah, gua sangat amat terbantu berkat kepedulian alumni-alumni, yang jarak antara kita mungkin sudah lepas benua, yang wajahnya pun gua gak ingat rupanya. Pikirlah, jika setiap kepala alumni ini berniat memakmurkan keluarganya sendiri-sendiri sebelum mengasihi yang lain, yang mungkin prioritasnya lebih tinggi untuk ditolong, lagi-lagi gua pastikan, gua bukan mahasiswa sekarang. Gua hanyalah seonggok remaja putus sekolah yang hanya bisa jadi pemimpi seumur hidupnya. Paling gua akan meneruskan jejak ibu gua yang seorang pedagang, atau bapak gua yang seorang petani langganan gagal panen. Pada akhirnya, gua cuma bagian dari serentetan generasi penerus lingkar kemiskinan di negeri ini. Dan banyak! Banyak yang bernasib seperti gua, menjamuri seseantero Ibu Pertiwi, terbunuh pelan-pelan oleh keputusasaan akibat masyarakat yang egois.
Iya. Ini bukan nasionalis, tapi egois. Maksimal egois. Maksimal egois yang disajikan dengan balutan nasionalis, yang makanya itulah gua juluki "sok nasionalis". Karena tidak ada seorang makhluk nasionalis pun yang melupakan teman negaranya. Karena tidak ada seorang makhluk nasionalis pun yang abai sewaktu menyaksikan pelanggaran sila 2 Pancasila di depan matanya. Karena tidak ada seorang makhluk nasionalis pun yang melakukan pembiaran pada hal-hal yang bertolak belakang dengan terwujudnya perdamaian dunia.
Akan datang saatnya kebaikan dipertanyakan, bahkan dianggap aneh, sedangkan kejahatan disuburkan. Pasti akan datang. Tapi tidak di era ini, Kawan. Tidak di era kita. Marilah kita berusaha memperbaiki diri sekaligus mempertajam kepekaan kita pada masalah-masalah sekitar agar zaman bobrok itu tidak hadir di kala kita masih bernafas.
No comments:
Post a Comment