Saturday, August 25, 2012

4 [Ep2. Super Suffer's Eternal Mission : Destroy Happy Teenagers]

Judulnya memang mengerikan, bro -______-


Baru kali inilah, gw bisa merasakan, bahkan menghayati, apa maknanya kata "kuliah". Sekilas, di tengah-tengah kerja rodi yang dibebankan para dosen itu kepada kami, gw mengingat masa-masa lalu yang jaya di semester-semester sebelumnya, dimana kami masih mampu tertawa riang gembira tanpa perlu ribut di grup facebook karena tugas yang bertumpuk juga tanpa perlu panik di setiap pagi deadline karena tugas tersebut belum selesai. Dimana kami masih sempat hunting situs-situs manga dengan senjata darah muda yang disebut "penasaran". Dimana kami masih bisa menontoni mereka-mereka yang seenaknya bermain Worm atau Angry Bird di tengah-tengah horornya suasana perkuliahan Pemrograman. Dimana wajah gw yang tampan ini masih bersih, segar, dan menggoda (?) ; tidak seperti sekarang, yang lusuh, berjerawat, serta memancarkan aura negatif, namun, yah... tetap tampan (maksa).

Sebelum paper bangsat yang gw bicarakan pada posting sebelumnya mulai dikerjakan, tsunami besar lainnya menghalau di depan mata. Kami diharuskan untuk merancang database sebuah institusi secara nyata, yang artinya kami perlu melakukan survei ke institusi yang bersangkutan, kemudian sok kepo mengenai aturan main bisnis mereka. Daaan... karena memang dasarnya kami ini mahasiswa sejati, maka deadline 3 minggu yang diberikan pun habis dengan spesifikasi sebagai berikut : 
1 minggu untuk baca soal.
1 minggu untuk istirahat akibat kecapekan baca soal.
4 hari untuk sok mikirin tugas.
3 hari terakhir baru benar-benar tersadar dan menggarap tugas yang diberikan, dengan style gupek. 


Satu hal yang harus kalian pelajari adalah "jangan pernah meremehkan tugas, apapun itu", karena barusan-lah alasannya mengapa mata kuliah Basis Data menjadi beban batin terberat gw di semester 4. Setelah groginya Pandu ketika menelepon mas-mas yang menjabat posisi staf IT di PT Lautan Teduh (yang karena itu jugalah gw curiga dia maho hahahaha), mata gw pun terbuka kalau ternyata butuh waktu yang lumayan lama untuk menyelesaikan semuanya. Gw terhenyak saat membaca ulang kertas soal dan mendapati bahwa laporan yang diinginkan tidak sekedar tempel ERD, tabel relasi, printscreen MySQL, dan sedikit sesi untuk ngobau. Ya, gw juga tidak tahu faktor macam apa yang membuat gw berpikir bahwa dokumentasi suatu tugas akhir akan sesederhana itu. Yang jelas, anggapan sesat seperti itu telah membuat kami (ya, "kami", bukan hanya "gw") selalu angkat kaki dari kampus di atas jam 9 malam selama seminggu, yang kemudian diteruskan dengan begadang di rumah masing-masing, masih untuk berkutat dengan database kita yang luar biasa.

Mungkin malam H-1 adalah momen paling membara yang musti diungkapkan untuk sedikit mengingat mode slow gw yang berlebihan. Jadi, sehabis iseng foto sok Suju sambil makan tahu Sumedang di depan pelataran gedung kuliah, gw dipaksa oleh Choi nginep di rumahnya untuk ngebantuin dia ngerjain tugas sekaligus belajar Jarkom bareng (apakah kalian bisa menemukan kata lain selain "disaster" kalau gw bilang UTS tentang mata kuliah yang lain tepat bersamaan dengan deadline tugas database yang baru saja kita bicarakan?). Akhirnya, dengan segala macam pertimbangan, gw pun setuju dan mengabari orang tua gw kalau gw tidak akan pulang malam itu.

Mati lampu.

Bagi kami yang setengah jiwanya tercurahkan untuk komputer, itulah momok paling menakutkan dalam hidup. Sebab, PC dengan spek setinggi apapun, gak akan ada gunanya tanpa asupan listrik! Dan itulah yang terjadi setelah azan maghrib berkoar-koar. Temen-temen gw langsung sibuk tingkat dewa dengan menelpon dan sms berbagai pihak, menanyakan kondisi lingkungan rumah mereka, yang jika sesuai harapan, kemudian akan meminta izin untuk menebeng tinggal selama semalam. Pimpinan gerakan ini adalah agan Harjo, yang kebetulan menggelar kegiatan pengumpulan massa yang sama-sama senasib mencari sumber energi di rumah Choi dan menjadikan tempat yang sama sebagai titik keberangkatan. Sayangnya, PLN sedang bajingan-bajingan-nya malam itu, sehingga wilayah Kampung Baru, sekeliling Unila hingga lingkungan Pasar Tempel Rajabasa, Way Halim, dan Way Kandis dicoret dari daftar tujuan penebengan.

Segolongan temen gw yang lain telah mengambil inisiatif untuk menghabiskan hari di KFC yang terang bersama paha dan dada ayam, sementara kami masih mematung di depan pagar rumah Choi dengan aura putus asa, sampai akhirnya Imam berlaku sebagai secercah harapan dengan rumah kakaknya di Pramuka yang masih bergelimang cahaya. Rupanya, PLN memang benar-benar sedang dalam setelan bajingan ketika listrik yang sangat kami butuhkan kembali kepada kami tepat ketika pasukan siap lahir-batin konvoi menuju Pramuka. Terkesan dikerjain ya, tapi tidak ada satu pun di antara kami yang berani mengeluh begitu, karena... mungkin rasa syukur telah penuh memenuhi hati kami sehingga tidak ada tempat lagi untuk maksud jelek seperti itu.

Oke. Derita malam kami yang se-super Pak Mario Teguh kembali berlanjut.


Dan, hei, taukah kalian, kalau tadi itu baru mati lampu gelombang pertama?

Selanjutnya, seperti sinetron Cinta Fitri, mati lampu season kedua terjadi ketika gw sedang siap-siapnya menyuap tahu bunting ke dalam mulut. Sumpah-serapah gw baru berhenti saat mode rusuh yang kembali menyambangi pribadi kawan-kawan gw membuat mereka mulai mengacaukan handphone orang lain dengan sekian sms dan calling yang bertema sama : "boleh nebeng gak?". Jadi, gerombolan ini rencananya segera akan membuat runyam rumah Choi sebagaimana yang telah mereka lakukan pada insiden mati lampu yang pertama. Untungnya semua itu urung dilakukan, karena, 10 menit kemudian, listrik yang kesannya udah kayak dewa bagi kami karena setengah mati dipuja-puja itu akhirnya kembali menyinari kami sampai pagi esok hari.

Continued to 4 [Ep3. The Climax]

No comments:

Post a Comment