Monday, July 16, 2012

Perfeksionisme

Terserah mau memperlakukan ini sebagai propaganda atau doktrin ---perihal gw yang juga berkepribadian perfeksionis--- tapi di mata gw, posting ini lebih pantas untuk disebut "pembelaan". 

Kebanyakan orang memberikan judge miring pada perfectioniser, dengan beberapa alasan, yang hingga saat ini semuanya gw terima. Selain karena tidak ingin memicu perdebatan yang dengan lebainya menjurus pada baku hantam, juga karena apa yang mereka kemukakan merupakan kelemahan alamiah dari seorang manusia. Kesempurnaan hanya milik Tuhan dan sudah takdir dari ras kita untuk tidak bisa mencapai sesuatu yang terlampau tinggi begitu. 

Yah, di balik sikap gw yang super pasrah ini, tetap aja ada pandangan tersendiri yang gw pelihara. Mengingat gw sekarang bukanlah seseorang yang memiliki pengaruh besar pada dunia sehingga mampu mengubah kesan khalayak pada tipikal perfeksionis, maka yang bisa gw lakukan hanyalah mengotori blog lagi untuk kesekian kalinya. Terdengar lemah memang, tapi semoga setelah membacanya, mata kalian semua bisa terbuka kalau perfeksionis tidak seburuk yang kalian kira. Gimanapun juga, perfeksionis itu adalah hal yang terbentuk secara alami, merupakan hasil ekspresi dari perkembangan DNA dan interupsi lingkungan dalam diri individu, persis seperti sifat-sifat lainnya ; jadi, kenapa sesuatu yang wajar seperti itu harus dicap jahat?

Lebih jauh lagi, gw malah berpikir bahwa semua makhluk yang ada di alam semesta ini memiliki sisi perfeksionisnya masing masing. Hanya saja, segi perfeksionis seseorang yang berkepribadian perfeksionis lebih tinggi takarannya dibandingkan orang normal, yang karena itulah mereka disebut perfeksionis. Ambillah sebuah kasus dimana kita sedang bersih-bersih rumah. Berdasarkan "ukuran sempurna" orang pertama, rumah sudah cukup bersih cuma dengan disapu lantainya setiap hari, tapi bisa saja orang kedua perlu mengikutsertakan tahap "mengepel lantai" dalam operasi pembersihan rumahnya. Bahkan, orang lain yang "ukuran sempurna"-nya setengah dewa mungkin harus mengelap kaca jendela, menyingkirkan sarang laba-laba, memotong rumput di halaman, serta menguras bak mandi untuk menganggap rumahnya sudah bersih. Dari sini gw menarik kesimpulan bahwa perfeksionisme dibutuhkan untuk membuat segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Penting sekali manusia mempunyai "standar sempurna"-nya sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam hidupnya.

Kesulitan barulah akan muncul saat "standar" yang gw maksud tadi terlalu tinggi, atau malah tidak logis jika ternyata kemampuan individu pemilik "standar" tersebut sesungguhnya tidak mampu mewujudkan "standar" ciptaannya. Di sinilah kata "tidak sehat" bersanding untuk perfectioniser. Demi mencapai perfect mindset-nya, seorang perfeksionis rela memforsir diri sendiri. Pada akhirnya, setelah perjuangannya yang sangat berat, bukan kepuasan yang serta merta ia dapatkan dikarenakan "standar"-nya yang sangat tinggi itu masih tidak tergapai juga. Sebenarnya, dalam perspektif normal, hasil kerja seorang perfeksionis yang tidak memenuhi "standar" tersebut sudah lebih dari hebat, namun sang perfeksionis sendiri sepertinya malah kecewa, sehingga imbasnya kesan pertama yang timbul bagi perfeksionis adalah jarang bersyukur. 

Kegagalan melampaui "standar" yang berulang kali terjadi mencetak ketakutan di dalam kepala para perfeksionis sehingga mereka cenderung suka menunda-nunda pekerjaannya. Aspek berikut merupakan ganjalan dalam dunia kerja, selain selera perfeksionis yang tidak dapat diimbangi oleh rekan kantor yang dapat melahirkan ketimpangan dan rasa tidak percaya dalam tim. 

Skenario terburuk adalah ketika si perfeksionis melimpahkan seluruh penyebab rasa frustrasi yang dialaminya akibat kegagalan yang selalu ditemuinya kepada orang lain. Jika kondisinya sudah begitu, dengan terpaksa gw katakan kalau lebih baik yang bersangkutan mengkambinghitamkan diri sendiri, karena dengan begitu, seseorang yang akan hancur adalah dia sendiri, tanpa ada kerabat atau sejawat yang ikut terseret-seret dalam fase kehancurannya itu. Yah, sebenarnya tetap tidak bisa dibilang bagus juga walaupun hanya satu nyawa yang terpuruk, apalagi jika faktor pemicunya adalah sifat sendiri. Tetapi, menurut gw, membawa khalayak di sekitar kita ke dalam penderitaan yang tercipta karena ego kita sendiri adalah cara hidup yang gak gentle, men.

Setelah pembeberan dengan jelas di atas, para perfeksionis jadi terlihat mengerikan ya? Buang jauh-jauh pikiran negatif begitu. Tuhan telah menghadirkan sifat seperti ini ke tengah-tengah umat manusia, yang berarti Dia percaya kalau kita mampu mengatasi setiap kendala yang disebabkan olehnya. Maka dari itu, izinkanlah gw untuk memperkenalkan sebuah mindset baru : perfeksionis yang sehat adalah perfeksionis yang menerima dengan sempurna bahwa dirinya tak sempurna

Ketidaksempurnaan memang sudah kodrat manusia, toh? Jalan pikiran yang gw tawarkan tadi mencoba membantu para perfeksionis untuk menerima ketidaksempurnaan yang melekat pada dirinya. Lagipula, hidup ini tidak pernah semulus yang kita inginkan, sehingga adalah hal yang wajar jika hasil pekerjaan yang kita lakoni tidak memenuhi spesifikasi kita. Tanggapan yang seharusnya kita adopsi bukanlah kecewa atau depresi berlarut-larut, melainkan cepat bangkit dan berusaha agar hal yang baru saja terjadi tidak terulang di pekerjaan selanjutnya.

Gw akui, memang tidak mudah untuk mengabaikan kecacatan di depan mata; bahkan sampai sekarang pun gw masih sulit untuk melakukannya. Tetapi cobalah, dan bertahanlah. Jangan lantas kalah pada Tuan Egoisme yang bercokol di dalam hati. "Perfeksionis yang sehat" bukanlah cita-cita yang mustahil, dan gw yakin, kita yang berniat pasti bisa menjelma menjadi seorang perfeksionis yang baik.

Lantas, apakah sifat seperti ini dapat dikategorikan sebagai "ujian" bagi kita yang mendapatkannya? Oh, itu tergantung bagaimana kalian menyikapinya. Gw malah sangat bersyukur karena Tuhan telah menciptakan gw dengan keadaan begini (perfeksionis 64% .red), karena, setelah gw renungi masak-masak, si perfeksionis dalam diri gw inilah yang sering menjadi biang keladi dari banyak kesuksesan yang pernah gw capai. Yah, memang sih, sebelum "sukses" itu ada masa-masa perjuangan yang berdarah, sakit, dan menyebalkan. Tapi, sesudah periode itu berlalu, rasa bangga dan bahagia yang gw dapatkan malah berlipat-lipat. Dan, jangan pernah berpikir kalau gw tidak pernah menemui ketidaksempurnaan dalam segala hal yang sedang gw tekuni. Percayalah, yang seperti itu, tak terhitung gw mengalaminya. Namun, lihatlah sekarang, hidup gw tetap indah-indah saja dan langit di atas kepala gw tetap biru-biru saja walaupun semua yang tidak sempurna itu mengikuti aktivitas gw. See? It's alright! Kalian gak akan mendadak mati cuma karena membiarkan ketidaksempurnaan berkeliaran mengelilingi dunia kalian.

Terakhir, gw harap Wikipedia mau merevisi definisi yang dibuatnya tentang Perfectionism.

No comments:

Post a Comment