Item wajib pertama setelah barang-barang pribadi gw : Alquran. Siapa tau setelah keluar dari sana, ilmu agama gw sudah sakti kemudian gw diorbitin jadi ustadzah.
Lalu lima koper besar yang isinya hanya buku. Bahkan dengan diri gw yang gak jago ngrumpi ini, gw gak yakin lima koper itu udah cukup.
Pertama, jelas buku sains. Situasi ini harus gw manfaatkan untuk membangun karakter ilmuwan (dan mungkin adalah langkah awal untuk menggoyahkan anggapan orang-orang bahwa Einsteinlah orang terpintar di dunia, hehehe). Namun karena ketiadaan fasilitas untuk bereksperimen, mungkin akan sangat sulit bagi gw untuk mengaplikasikan pengetahuan yang baru saja gw peroleh. Yah, paling sesukses-suksesnya gw hanya sampai pada penemuan Peledak Kamera.
Yang terpikirkan berikutnya adalah literatur psikologi. Berbeda dengan sebelumnya, di sini justru terbuka lebar kesempatan untuk gw membuka praktek psikiater. Hahahaha.
Terus buku-buku joke serta buku-buku motivasi. Karena gw butuh untuk ketawa. Karena gw butuh pemicu endorfin untuk membuat gw tetap senang di tengah-tengah lingkungan tanpa handphone, televisi, dan koneksi internet. Karena setelah melihat betapa tersiksanya terisolasi dari peradaban, gw butuh penjaga semangat agar gw selalu punya niat untuk bertahan hidup. Gw rasa sedikit aja kata-kata Mario Teguh akan sangat berarti di sini.
Karya fiksi akan gw pertimbangkan. Harus ditakar ekstra hati-hati pokoknya karena ada suatu alasan penting yang mendasari gw untuk berhenti mengonsumsi novel semenjak upgrade status jadi siswi SMP. Hanya akan membangkitkan ketidaknyamanan ujungnya kalau gw terlalu banyak menikmati cerita ciptaan orang lain. Tentu saja, kecuali komik. Hehehe.
Sebagai media penyaluran jiwa seni, ada baiknya gw mengikutsertakan alat dan kertas gambar. Alasan utamanya sih itu, tapi gw bisa sambil nyambi meracuni makanan saingan yang gw gak suka dengan serbuk krayon. Sebutlah gw "jahat" ; akan dengan sangat ikhlas gw anggap itu sebagai ungkapan lain dari frase "tetap survive". Dan karena alasan survive jugalah gw perlu gitar. Mengingat tidak diizinkannya keberadaan barang-barang kesayangan milik housemates, yang berarti gw harus meninggalkan mp4 gw, sedangkan gw menggenggam teguh prinsip jiwa muda "No Life Without Music", maka untuk mengompensasinya gw harus menyanyi sendiri dong. Biarlah jari gw kapalan karena terluka oleh senar, daripada hidup gw hampa 'kan? Kalaupun ternyata gitar juga dilarang, jangan salahin siapa-siapa jika gw memelopori sebuah grup perkusi di dalam rumah Big Brother dengan panci-panci dapur dan ember air segala ukuran sebagai modal utamanya.
Buku tulis kosong dan sekotak pulpen. Untuk menggantikan fungsi kertas buram, tempat menampung puisi-puisi penderitaan yang berhasil gw rangkai, pendengar setia semua curcolan gw, dan yang terakhir, yang paling penting, sebagai pelampiasan kalau gw lagi kesel dan mau gigit-gigit sesuatu.
Jangan lupa papan monopoli sama segepok kartu UNO. Misalnya masih terbayang-bayang sama masa bahagia ketika kecil, boleh juga bawa gundu setoples atau tali karet. Kalau lagi bosen parah, itulah sarana have fun yang bisa dimainin rame-rame. Tidak diperkenankan adanya ketapel atau berbagai macam bola walaupun maksudnya baik untuk berburu nyamuk atau main kasti indoor ; apalagi kalau yang punya memang sejak awal berniat mengacau.
Gw juga harus mempersiapkan sebuah pengeras suara dari karton. Pasalnya, jika gw sampai pada kondisi gila stadium dewa, didukung kamera pada setiap sudut, gw akan berlagak seperti seorang sutradara yang sedang bikin film dan gw butuh pengeras suara itu untuk memperjelas instruksi selama syuting.
Pada akhirnya, kalaupun ternyata semua yang di atas itu tidak boleh dibawa juga, wah, dengan sangat terpaksa saya katakan,"Hidup macam apa itu?!" Saya gak akan pernah mau menjadi peserta Big Brother. Hahahaha.
Pada akhirnya, kalaupun ternyata semua yang di atas itu tidak boleh dibawa juga, wah, dengan sangat terpaksa saya katakan,"Hidup macam apa itu?!" Saya gak akan pernah mau menjadi peserta Big Brother. Hahahaha.
-Yuk, non-stop mengkhayal-
No comments:
Post a Comment