Sunday, August 28, 2011

Curcol .4

Satu hal yang selalu gw sesalkan pada diri gw adalah kenapa setelah berhadapan dengan kertas kosong, semua ide dan inspirasi yang menggunung di kepala gw ini langsung menguap lenyap gak balik-balik lagi. Padahal dulu, dulu itu (bahkan gw sudah lupa 'dulu' itu kapan), sekali nulis aja gw udah kayak orang kesetanan. Bisa tahan dari pagi sampe sore. Makanya jangan heran kalau buku isi 58 lembar mampu gw khatamkan dalam waktu kurang dari 3 hari. 'Wow' deh buat gw. Sekarang? Boro-boro 58, isi 38 yang udah setipis-tipisnya sehingga gak pantes lagi dibilang buku gara-gara udah sering diambil-ambil kertasnya aja berbulan-bulan gak pernah habis. Awet bangke. Sangat sialan pokoknya mengingat jabatan gw sebagai "pemborong jatah buku tulis terbanyak" di keluarga ini harus dibalap sama adek gw yang baru masuk SMP.


Penegasannya dibikin simpel aja : fase-fase 'dulu' itu adalah sebelum gw jadi maniak sains. Sebelum gw jadi manusia yang punya obsesi segudang sama sains. Sebelum cinta gw jadi senyata ini pada sains. Sebelum gw kelas 12. Nah! Suatu ironi, gw pikir, ketika sesuatu yang gw cintai itu malah menggeser sisi diri yang celakanya paling utama dalam hidup gw.  Ketika cita-cita primer gw sebagai dokter malah berhasil mengesampingkan bakat gw yang lain yang jelas-jelas kemunculannya jauh lebih awal dari cita-cita itu sendiri. Masa depan itu gak pasti, tapi sesuatu yang mendorong gw, yang menggoda gw dan konsisten mempertahankan gw untuk tetap menulis itu pasti. Bukan hasrat. Bukan tekad. Bukan juga sesuatu yang berat semacam ambisi. 'Itu' mengalir, timbul sendiri tanpa dipaksa atau diminta. Bukan cakupan wilayah kerja otak sadar, gw rasa. Gw gak bisa mendefinisikan apa 'itu', tapi gw yakin itulah yang bener-bener gw. Penulis adalah gw. Belakangan gw sadari kalau keyakinan gw terhadap kesuksesan sebagai penulis lebih hebat kadarnya daripada sebagai dokter. Kapanpun nama gw timbul ke permukaan, maka akan dengan cepat gw dikenal oleh insan perbukuan dunia. Bukannya sombong, tapi penggunaan kata 'dunia' di sana, bukan 'Indonesia', sudah membuktikan betapa tingginya keyakinan gw itu. Dalam dunia gw, tidak peduli nyawa mana yang berkibar-kibar dengan karyanya yang setengah mati dipuja-puja, apakah itu Habiburrahman El Shirazy, J.K. Rowling, Stephenie Meyer, atau siapapun yang mengaku-ngaku dirinya adalah penulis nomor wahid, tetap gw si pemegang posisi puncak. Tetap gw orang besarnya (walaupun memang sangat subjektif karena konteksnya 'dunia gw'). See? Gak pernah seujung kuku pun gw mikir mau jadi dokter yang 'mendunia'. Kalau mau tahu, pencapaian tertinggi yang gw harapkan cuma kepala divisi bedah suatu rumah sakit. Gak lebih (Ya, meskipun gw sadar juga kalau keinginan gw yang cuma segitu merupakan sebuah usaha tersendiri untuk masuk kriteria dokter ideal). Itu sudah jadi perbandingan yang cukup untuk membuktikan kalau takaran 'menulis' itu lebih besar dari cita-cita. justru seperti sebuah takdir yang udah gw pilih sebelum gw lahir. Di atas kata "cinta". Karena cinta bisa datang dan pergi, bisa naik dan turun, tapi ini gak, dia selalu konstan dari masa ke masa, tidak terpengaruh suasana, tidak lekang digerogoti usia, tidak habis dimakan cuaca. 

Lalu kenapa? Apa yang salah dengan diri gw? Kenapa dengan teganya gw gadaikan sesuatu yang luar biasa ini untuk sebuah visi masa depan yang gw masih belum tahu gimana ujungnya?

Apakah analitis selalu berbanding terbalik dengan kreatif? Apa karena otak kiri gw yang semakin canggih, maka otak kanan gw harus semakin cupu untuk menyeimbangkan kapasitas yang tersedia? Tapi bukannya penelitian membuktikan bahwa potensi otak manusia itu tanpa batas? Berarti semua pola sistematis ini gak akan berefek apa-apa pada daya khayal gw.

Terus apa? Karena kurangnya kesempatan? Bukan! Kesempatan selalu ada. Selalu masuk planning harian. Jadi bukan pada masalah ada tidaknya waktu luang kan?

Jangan tanya masalah inspirasi . Kalau gw punya celengan ayam besar untuk menabung semua inspirasi yang mendadak muncul, maka gw jamin celengan itu akan sudah penuh dalam waktu kurang dari satu hari.


Sebenarnya ada satu alasan yang terdengar masuk akal. Ini tak lebih dari penyakitnya orang perfeksionis. Suatu ketakutan akan hasil kerja yang tak sempurna sehingga secara tidak sadar pikiran gw menghilangkan inspirasi yang sudah ada agar gw tidak melanjutkan menulis. Apalagi angka 64 dari skala 1-100 tentang tingkat keperfeksionisan yang gw punya menjadi salah satu bukti kuat kalau inilah penyebab utamanya. Gw selalu bangga menjadi orang berkepribadian perfeksionis, tapi terkadang gw juga dibuat bingung sendiri untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat sifat gw ini, apalagi kalau sudah menyangkut masalah realisasi. 


Hfffft.



No comments:

Post a Comment