"[piiip] mau masuk FKU[piiip] poi!"
Sms yang datang di malam September itu langsung menggoyahkan hati gw. Seketika aja hasrat nonton gw hilang, lenyap. Gw cepet-cepet mengurung diri di kamar untuk berpikir lama. Serius, cuma sebuah info ringan sebenernya, tapi ternyata itu cukup untuk membuat hasrat terpendam yang telah gw matikan dari dulu-dulu kembali bangkit dari kuburnya kemudian melarutkan gw dalam kebingungan panjang.
Setahun yang lalu, gw adalah seorang pelajar SMA yang bersemangat dan memiliki niat skala maksimal untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang dokter bedah syaraf. Tidak pelu ditanya gimana upaya gw untuk meraih visi masa depan itu karena semua orang pasti tahu apa maknanya "study hard". Walaupun ortu gw sedikit tidak setuju karena mereka gak yakin dengan kelas ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata, itu semua gak pernah menyurutkan keinginan gw. Sedikitpun.
Sebuah hal yang lumrah terjadi dalam hidup saat takdir ternyata gak sesuai dengan harapan. Pada akhirnya, realita mengatakan bahwa gw harus terdampar di jurusan Ilmu Komputer yang sebenernya gak pas banget dengan gw yang berspesialisasi di bidang Biologi. Tapi gw rasa semuanya jadi begini bukan sepenuhnya karena Tuhan yang telah memutuskan ; justru sebagian besarnya karena memang gw yang salah. Ada pemikiran keliru yang gw ikuti (yang gw sendiri males membicarakannya lagi karena cuma membuat gw merasa bodoh) dan ujung-ujungnya malah membuat segala persiapan gw jadi gak berguna. Lalu, seumur-umur, gw hanya mau masuk FKU[piiip] sehingga terlalu sulit buat gw menentukan apa pilihan jurusan satunya karena tidak punya bayangan tentang universitas lain. Jadilah gw biarkan orang tua yang turut campur memutuskan tentang ini, tanpa gw sadari kalau keinginan orang tua gw belum tentu sesuai dengan kemampuan gw sendiri.
Tapi mau gimana lagi kan? Toh ini kenyataannya. Mau gak mau, suka gak suka, cocok gak cocok, tetap harus gw terima. Yang gw lakukan pertama kali setelah selesai ngeliat pengumuman adalah mengikhlaskan segalanya. Melepaskan cita-cita gw. Merelakannya tanpa tahu apakah gw memang sanggup melakukan itu. Yah, bisa atau tidak, waktu itu cuma sikap ini yang bisa gw ambil. Yang jelas, satu yang menguatkan gw : Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk hamba-Nya. Gw selalu percaya itu.
Gw memilih untuk menjalani serius apa yang hidup berikan. Menjadi seorang mahasiswa rajin yang setiap hari menghadiri kuliah IT. Berteman dan membangun relasi dengan orang-orang yang notabene laptop-addicted. Walaupun memang pada semester-semester awal ini materi lebih banyak didominasi oleh Matematika yang merupakan pelajaran paling gw benci sedunia, tapi ternyata di sini gw menikmati ilmu yang ada, Matematika sekalipun. Uni[piiip] sukses 100% membuat gw berbalik mencintai Matematika, yang buat gw adalah sebuah anugerah tersendiri dan tak terduga karena dengan ini akhirnya filosofi keilmuan gw terpenuhi sudah (apapun filosofi itu, terlalu berat untuk diumbar-umbar sehingga lebih baik kalau gw simpan saja). Ada sedikit masalah sosial yang gw dapatkan memang, tapi itu tidak lebih dari sekedar proses adaptasi. Untuk selanjutnya, gw bersyukur karena memiliki rekan-rekan yang baik.
Dalam waktu singkat, gw menyadari kalau gw telah menggenggam kesempurnaan hidup. Orang-orang di lingkungan sekitar gw begitu pengertian, meskipun masih sedikit kurang kompak, tapi mereka selalu bisa dijadikan tempat berbagi suka maupun duka. Tetap bisa lucu dan becanda walaupun barusan aja dapet nilai jelek di kuis. Mudah diajak kumpul bareng dan ngobrolin apapun, mulai dari segala hal tentang IT, pertandingan sepak bola semalem, gosip selebriti, film korea, gadget terbaru, sampai kongek-kongekan gak jelas. Perkuliahan yang menurut gw menyenangkan, santai, bisa diajak facebook-an (hehe), tapi semua yang dibeberkan dosen itu masuk ke kepala. Kalaupun gak gw perhatikan, gw masih bisa mengejar dengan membabat buku teks yang ada. Nilai akademis? Excellent. Gak pernah terpikir dalam sejarah hidup gw, bahkan dalam mimpi sekalipun, kalau semua kuis Kalkulus I gw dihargai dengan nilai sempurna 100. Wow, welcome to my new world. Belum lagi, dengan beasiswa yang gw dapatkan, semua biaya perkuliahan gw terjamin sampai lulus. Lengkap kan? Temen-temen yang seru, akademik "dewa", lalu tercukupinya segi finansial. Kurang apa lagi?
Jujur, waktu itu masih kuat bercokol di hati gw untuk kembali mencoba peruntungan tahun depan demi mengejar cita-cita jadi dokter. FKU[piiip] masih membayang-bayangi gw. Tapi, semakin lama, semakin gw menjalani hari demi hari di kampus ini, gw semakin sadar kalau hidup yang sudah komplit begini terlalu sayang untuk dilepaskan. Belum tentu juga semua yang gw peroleh di sini bisa seluruhnya gw temui lagi di FKU[piiip] kan? (pastinya gw akan terbentur masalah dana). Hasrat untuk cita-cita itu perlahan-lahan tertekan dengan sendirinya, sampai akhirnya hanya berwujud titik kecil yang sebenernya cukup dengan satu kibasan tangan aja pasti bisa hilang. Niat gw makin surut, seiring dengan gw sendiri yang semakin menerima kalau nanti gw akan jadi programmer yang hebat. Tapi gw sangat sadar, sekecil apapun niat itu, dia masih ada. Terkadang gw selalu memanggil kembali memori khayal diri gw yang bertitel Sp.BS. Entah kapan gw bisa melupakan impian lama gw ini ; gw bahkan gak yakin bisa melupakannya, malahan mungkin akan terus teringat-ingat sampai gw tua. Karena gw paham betul kalau ini bukan lagi sekedar obsesi ; ini sudah masuk level cinta mati.
Awalnya gw gak terlalu ambil pusing soal itu. Gw biarkan aja semuanya mengalir dan lihat gimana akhirnya nanti. Sebelum sms tadi datang. Setelahnya, seperti habis menelan pil ekstasi, tiba-tiba aja keinginan gw untuk jadi dokter menggebu-gebu lagi. Pemicunya hanya sebuah pertanyaan,"Ayo, lo nyoba lagi ya tahun depan?" Cuma ada dua opsi : "ya" atau "tidak", tapi begitu susah buat gw untuk memutuskan mau mengambil jawaban yang mana. Setengah hati gw berpihak pada kenyataan yang tengah gw jalani, tapi setengahnya lagi merasa belum puas. Yang setengahnya lagi ini selalu bilang,"Kamu masih punya dua kesempatan lagi untuk mecapai apa yang selama ini kamu impi-impikan, Feb. Bodoh banget kalau kamu sudah menyerah sementara jalan kamu masih seluas itu. Kamu masih yakin kan kalau kamu bisa jadi dokter? Terus kenapa lagi? Katakan aja 'ya'!" Namun ketika gw melirik setengah hati gw yang lain, pasti muncul pertanyaan mengerikan begini,"Apakah saya tidak bersyukur, Tuhan?"
Sisi realistis dan idealis gw berperang di sini. Gw mikir, turut mengkalkulasi, mempertimbangkan semua kompensasi untuk mendapatkan anggaran yang seminimum mungkin. Saat itulah gw dapati fakta menyakitkan bahwa orang tua gw gak akan sanggup menanggung kalau sebesar ini. Tapi saat itu juga bagian kepala gw yang lain mulai menyangkal, lalu memaparkan segala cara yang layak dicoba untuk mendapat tambahan dana. Cara yang gak tau apakah bisa gw lakukan ; atau kalaupun bisa, gw juga gak tau apakah berhasil menutupi tuntas semua kekurangan yang ada. Gw bener-bener gak tau. Gw terlalu bingung dan gak bisa memutuskan mau mematuhi yang mana. Ketakutan gw pada masing-masing resiko yang dibawa kedua pilihan itu sama besarnya. Gw gak cukup kuat untuk melepaskan cita-cita gw begitu aja, tapi gw juga gak bisa setega itu memaksa orang tua gw untuk pontang-panting banting tulang dan berhutang sana-sini cuma untuk memenuhi ambisi gw, padahal untuk hidup mereka sehari-hari aja belum tentu tercukupi.
Inilah saat dimana pintu kegalauan terbesar dalam hidup gw terbuka. Keadaan gw yang kebingungan ini berlanjut dan berlangsung lama. Orang-orang selalu bilang untuk menuruti kata hati, tapi masalahnya sekarang hati gw ini bercabang dua, dengan area percabangan yang sama luasnya. Peluangnya 50:50. Yang membuat gw sulit mengambil tindakan karena tidak ada kecenderungan mau ke arah mana. Rasanya kayak jatuh ke dalam lubang di dasar jurang dan kita gak bisa ngapa-ngapain karena yang ada cuma gelap. Terkadang karena itulah gw sering nangis sendiri. Rasanya mau putus asa aja, gak mau milih apa-apa ; tapi membiarkan semuanya ngegantung kayak gini juga gak bisa dibenarkan karena gw gak mau jadi manusia gak jelas yang gak punya tujuan hidup pasti.
Sebulan sudah lewat, didukung karena gw sudah capek untuk galau, akhirnya gw berpikir simpel,'Uang bisa dicari, tapi kalau cita-cita yang hilang, dengan uang sebanyak apapun, dia gak akan pernah kembali.' Entah ilham dari mana itu, tapi jelas sekali sekarang kalau sudah sepatutnya gw mempertahankan apa yang gw yakini selama ini dan berjuang lagi. Ditambah lagi dengan support dari temen-temen SMA gw yang semakin mempertegas bahwa keputusan gw ini sudah tepat. Mereka aja percaya gw bisa jadi dokter, lalu kenapa gw sendiri gak?
Pada dasarnya, gw memang penganut paham idealis dan selalu menolak untuk berpikir realistis. Gw akui kalau gw belum punya rencana yang matang tentang masalah biaya. Untuk sementara ini gw masih mempercayakan soal uang pangkal dan SPP semesteran ke ortu gw ; tentunya setelah dapat sedikit kortingan. Untuk biaya hidup, gw punya jalan keluar sendiri yang bisa gw pikirkan sambil jalan. Bagaimanapun juga, didasari dengan "resolusi 18 tahun", gak akan gw izinkan uang menjadi penghambat gw dengan cita-cita gw. Karena kelak gwlah yang akan pegang uang, bukan uang yang 'megang' gw.
Sms yang datang di malam September itu langsung menggoyahkan hati gw. Seketika aja hasrat nonton gw hilang, lenyap. Gw cepet-cepet mengurung diri di kamar untuk berpikir lama. Serius, cuma sebuah info ringan sebenernya, tapi ternyata itu cukup untuk membuat hasrat terpendam yang telah gw matikan dari dulu-dulu kembali bangkit dari kuburnya kemudian melarutkan gw dalam kebingungan panjang.
Setahun yang lalu, gw adalah seorang pelajar SMA yang bersemangat dan memiliki niat skala maksimal untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang dokter bedah syaraf. Tidak pelu ditanya gimana upaya gw untuk meraih visi masa depan itu karena semua orang pasti tahu apa maknanya "study hard". Walaupun ortu gw sedikit tidak setuju karena mereka gak yakin dengan kelas ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata, itu semua gak pernah menyurutkan keinginan gw. Sedikitpun.
Sebuah hal yang lumrah terjadi dalam hidup saat takdir ternyata gak sesuai dengan harapan. Pada akhirnya, realita mengatakan bahwa gw harus terdampar di jurusan Ilmu Komputer yang sebenernya gak pas banget dengan gw yang berspesialisasi di bidang Biologi. Tapi gw rasa semuanya jadi begini bukan sepenuhnya karena Tuhan yang telah memutuskan ; justru sebagian besarnya karena memang gw yang salah. Ada pemikiran keliru yang gw ikuti (yang gw sendiri males membicarakannya lagi karena cuma membuat gw merasa bodoh) dan ujung-ujungnya malah membuat segala persiapan gw jadi gak berguna. Lalu, seumur-umur, gw hanya mau masuk FKU[piiip] sehingga terlalu sulit buat gw menentukan apa pilihan jurusan satunya karena tidak punya bayangan tentang universitas lain. Jadilah gw biarkan orang tua yang turut campur memutuskan tentang ini, tanpa gw sadari kalau keinginan orang tua gw belum tentu sesuai dengan kemampuan gw sendiri.
Tapi mau gimana lagi kan? Toh ini kenyataannya. Mau gak mau, suka gak suka, cocok gak cocok, tetap harus gw terima. Yang gw lakukan pertama kali setelah selesai ngeliat pengumuman adalah mengikhlaskan segalanya. Melepaskan cita-cita gw. Merelakannya tanpa tahu apakah gw memang sanggup melakukan itu. Yah, bisa atau tidak, waktu itu cuma sikap ini yang bisa gw ambil. Yang jelas, satu yang menguatkan gw : Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk hamba-Nya. Gw selalu percaya itu.
Gw memilih untuk menjalani serius apa yang hidup berikan. Menjadi seorang mahasiswa rajin yang setiap hari menghadiri kuliah IT. Berteman dan membangun relasi dengan orang-orang yang notabene laptop-addicted. Walaupun memang pada semester-semester awal ini materi lebih banyak didominasi oleh Matematika yang merupakan pelajaran paling gw benci sedunia, tapi ternyata di sini gw menikmati ilmu yang ada, Matematika sekalipun. Uni[piiip] sukses 100% membuat gw berbalik mencintai Matematika, yang buat gw adalah sebuah anugerah tersendiri dan tak terduga karena dengan ini akhirnya filosofi keilmuan gw terpenuhi sudah (apapun filosofi itu, terlalu berat untuk diumbar-umbar sehingga lebih baik kalau gw simpan saja). Ada sedikit masalah sosial yang gw dapatkan memang, tapi itu tidak lebih dari sekedar proses adaptasi. Untuk selanjutnya, gw bersyukur karena memiliki rekan-rekan yang baik.
Dalam waktu singkat, gw menyadari kalau gw telah menggenggam kesempurnaan hidup. Orang-orang di lingkungan sekitar gw begitu pengertian, meskipun masih sedikit kurang kompak, tapi mereka selalu bisa dijadikan tempat berbagi suka maupun duka. Tetap bisa lucu dan becanda walaupun barusan aja dapet nilai jelek di kuis. Mudah diajak kumpul bareng dan ngobrolin apapun, mulai dari segala hal tentang IT, pertandingan sepak bola semalem, gosip selebriti, film korea, gadget terbaru, sampai kongek-kongekan gak jelas. Perkuliahan yang menurut gw menyenangkan, santai, bisa diajak facebook-an (hehe), tapi semua yang dibeberkan dosen itu masuk ke kepala. Kalaupun gak gw perhatikan, gw masih bisa mengejar dengan membabat buku teks yang ada. Nilai akademis? Excellent. Gak pernah terpikir dalam sejarah hidup gw, bahkan dalam mimpi sekalipun, kalau semua kuis Kalkulus I gw dihargai dengan nilai sempurna 100. Wow, welcome to my new world. Belum lagi, dengan beasiswa yang gw dapatkan, semua biaya perkuliahan gw terjamin sampai lulus. Lengkap kan? Temen-temen yang seru, akademik "dewa", lalu tercukupinya segi finansial. Kurang apa lagi?
Jujur, waktu itu masih kuat bercokol di hati gw untuk kembali mencoba peruntungan tahun depan demi mengejar cita-cita jadi dokter. FKU[piiip] masih membayang-bayangi gw. Tapi, semakin lama, semakin gw menjalani hari demi hari di kampus ini, gw semakin sadar kalau hidup yang sudah komplit begini terlalu sayang untuk dilepaskan. Belum tentu juga semua yang gw peroleh di sini bisa seluruhnya gw temui lagi di FKU[piiip] kan? (pastinya gw akan terbentur masalah dana). Hasrat untuk cita-cita itu perlahan-lahan tertekan dengan sendirinya, sampai akhirnya hanya berwujud titik kecil yang sebenernya cukup dengan satu kibasan tangan aja pasti bisa hilang. Niat gw makin surut, seiring dengan gw sendiri yang semakin menerima kalau nanti gw akan jadi programmer yang hebat. Tapi gw sangat sadar, sekecil apapun niat itu, dia masih ada. Terkadang gw selalu memanggil kembali memori khayal diri gw yang bertitel Sp.BS. Entah kapan gw bisa melupakan impian lama gw ini ; gw bahkan gak yakin bisa melupakannya, malahan mungkin akan terus teringat-ingat sampai gw tua. Karena gw paham betul kalau ini bukan lagi sekedar obsesi ; ini sudah masuk level cinta mati.
Awalnya gw gak terlalu ambil pusing soal itu. Gw biarkan aja semuanya mengalir dan lihat gimana akhirnya nanti. Sebelum sms tadi datang. Setelahnya, seperti habis menelan pil ekstasi, tiba-tiba aja keinginan gw untuk jadi dokter menggebu-gebu lagi. Pemicunya hanya sebuah pertanyaan,"Ayo, lo nyoba lagi ya tahun depan?" Cuma ada dua opsi : "ya" atau "tidak", tapi begitu susah buat gw untuk memutuskan mau mengambil jawaban yang mana. Setengah hati gw berpihak pada kenyataan yang tengah gw jalani, tapi setengahnya lagi merasa belum puas. Yang setengahnya lagi ini selalu bilang,"Kamu masih punya dua kesempatan lagi untuk mecapai apa yang selama ini kamu impi-impikan, Feb. Bodoh banget kalau kamu sudah menyerah sementara jalan kamu masih seluas itu. Kamu masih yakin kan kalau kamu bisa jadi dokter? Terus kenapa lagi? Katakan aja 'ya'!" Namun ketika gw melirik setengah hati gw yang lain, pasti muncul pertanyaan mengerikan begini,"Apakah saya tidak bersyukur, Tuhan?"
Sisi realistis dan idealis gw berperang di sini. Gw mikir, turut mengkalkulasi, mempertimbangkan semua kompensasi untuk mendapatkan anggaran yang seminimum mungkin. Saat itulah gw dapati fakta menyakitkan bahwa orang tua gw gak akan sanggup menanggung kalau sebesar ini. Tapi saat itu juga bagian kepala gw yang lain mulai menyangkal, lalu memaparkan segala cara yang layak dicoba untuk mendapat tambahan dana. Cara yang gak tau apakah bisa gw lakukan ; atau kalaupun bisa, gw juga gak tau apakah berhasil menutupi tuntas semua kekurangan yang ada. Gw bener-bener gak tau. Gw terlalu bingung dan gak bisa memutuskan mau mematuhi yang mana. Ketakutan gw pada masing-masing resiko yang dibawa kedua pilihan itu sama besarnya. Gw gak cukup kuat untuk melepaskan cita-cita gw begitu aja, tapi gw juga gak bisa setega itu memaksa orang tua gw untuk pontang-panting banting tulang dan berhutang sana-sini cuma untuk memenuhi ambisi gw, padahal untuk hidup mereka sehari-hari aja belum tentu tercukupi.
Inilah saat dimana pintu kegalauan terbesar dalam hidup gw terbuka. Keadaan gw yang kebingungan ini berlanjut dan berlangsung lama. Orang-orang selalu bilang untuk menuruti kata hati, tapi masalahnya sekarang hati gw ini bercabang dua, dengan area percabangan yang sama luasnya. Peluangnya 50:50. Yang membuat gw sulit mengambil tindakan karena tidak ada kecenderungan mau ke arah mana. Rasanya kayak jatuh ke dalam lubang di dasar jurang dan kita gak bisa ngapa-ngapain karena yang ada cuma gelap. Terkadang karena itulah gw sering nangis sendiri. Rasanya mau putus asa aja, gak mau milih apa-apa ; tapi membiarkan semuanya ngegantung kayak gini juga gak bisa dibenarkan karena gw gak mau jadi manusia gak jelas yang gak punya tujuan hidup pasti.
Sebulan sudah lewat, didukung karena gw sudah capek untuk galau, akhirnya gw berpikir simpel,'Uang bisa dicari, tapi kalau cita-cita yang hilang, dengan uang sebanyak apapun, dia gak akan pernah kembali.' Entah ilham dari mana itu, tapi jelas sekali sekarang kalau sudah sepatutnya gw mempertahankan apa yang gw yakini selama ini dan berjuang lagi. Ditambah lagi dengan support dari temen-temen SMA gw yang semakin mempertegas bahwa keputusan gw ini sudah tepat. Mereka aja percaya gw bisa jadi dokter, lalu kenapa gw sendiri gak?
Pada dasarnya, gw memang penganut paham idealis dan selalu menolak untuk berpikir realistis. Gw akui kalau gw belum punya rencana yang matang tentang masalah biaya. Untuk sementara ini gw masih mempercayakan soal uang pangkal dan SPP semesteran ke ortu gw ; tentunya setelah dapat sedikit kortingan. Untuk biaya hidup, gw punya jalan keluar sendiri yang bisa gw pikirkan sambil jalan. Bagaimanapun juga, didasari dengan "resolusi 18 tahun", gak akan gw izinkan uang menjadi penghambat gw dengan cita-cita gw. Karena kelak gwlah yang akan pegang uang, bukan uang yang 'megang' gw.
Next : Galau ~Jilid 2
No comments:
Post a Comment