Saturday, February 25, 2012

Fu#$%ng Motorcyle, The Dreams, And Compromise of Death

Gw pulang dan gw tidak ngebut.

Tali gas Supra Fit merah kusam yang jarang dicuci itu sedang gak bersahabat dengan gw malam ini. Padahal jalanan sepi tadi bisa jadi sasaran empuk untuk membuat rekor kecepatan tertinggi yang baru. Cuma... motor itu memang sudah layak masuk liang lahat sebenernya ("masuk museum" mah udah gak level poi), jadi, sebagai seorang remaja yang memaknai arti kehidupan, gw selalu berusaha agar ajal gw gak ikut terseret-seret bersama ajalnya yang sudah deket itu ya. Diiringi juga dengan masalah rem yang keras dan lampu sen yang secara tiba-tiba gak mau nyala, jangankan mau gebay-geboy di atas aspal licin,  hanya dengan mengendarai motor tersebut secara normal aja telah cukup untuk menempatkan diri gw di pinggir jurang tak berdasar.

Gw masih takut mati. Gak hanya karena kepikiran sama dosa-dosa, tapi juga, ...ya... bukan rencana gw untuk mati semuda itu. Terlalu banyak target yang belum gw raih, belum ada bakti berarti yang dapat gw persembahkan untuk orang tua gw, harta benda gw  belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan segala pengeluaran yang mau gw lakukan, nama gw belum keluar dari list manusia-manusia-yang-dunia-tidak-akan-merasa-kehilangan-jika-ia-meninggal-dunia, serta seabrek "belum-belum" lainnya. Tapi, di balik semua itu, yang pasti paling gw sesali adalah jika gw tidak bisa membuktikan kepada diri gw sendiri bahwa gw mampu menjadi apa yang gw inginkan. Bahwa gw hanyalah pembual yang bangga dengan mimpi-mimpinya. 

Luka yang diperoleh saat gw mengakui itu secara sukarela bertingkat-tingkat tak terjangkau di atas sakitnya keseret Fuso sejauh 500 m. Karena itulah, gw selalu memohon agar keputusan Tuhan tentang kapan Izrail meng-apel-i gw kurang lebih sama dengan estimasi yang gw buat. Semoga deh. Seperti Naruto yang berdeklarasi seenaknya kalau ia tidak akan mati sampai ia menggenggam posisi Hokage, anggaplah gw juga begitu.

Amin.

No comments:

Post a Comment