Wednesday, November 16, 2011

Curcol .6

Oh God! Akhirnya saya bisa nulis lagi setelah sekian lama terpenjara dalam tumpukan tugas dan pengalihan koneksi internet ke situs-situs referensi.

Oktober bener-bener super! Gak pernah terbayang di kepala saya kalau saya akan mengalokasikan waktu sebulan penuh hanya untuk kuliah. Gak ada buku-buku SMA lagi ketika temen-temen saya sibuk menuruti perintah Sang Dosen untuk mencatat masal, atau blogger terus menerus ketika materi mulai membosankan dan membuat ngantuk, atau tulis-menulis gaje saat duduk mojok sendirian di belakang tanpa peduli orang di depan bicara apa. Gak ada! Sumpah saya baru sadar kalau 31 hari kemarin fix untuk Ilmu Komputer seorang. Dari minggu ke minggu, yang namanya presentasi, paper, makalah, atau ujian itu mengalir gak berhenti-berhenti kayak gerbong kereta batu bara. Saya berasa jadi mahasiswa MIT daripada Universitas Lalalala ini ---ditambah dengan fakta bahwa saya punya setumpuk lecture notes hasil stensilan makhluk MIT yang saya dapatkan dari Google. Jargon "Hidup itu keras", atau "Susah banget jadi sarjana Komputer ini", atau apapun itu yang bermakna penderitaan tak berujung berlaku di sini dan, hei Saudara, saya benar saat bilang,"...Malah akan lebih sibuk dari kalian..." kan?

Kapan sih saya hoax???


Saya semakin diyakinkan kalau usaha keras selalu berujung indah. Hukum timbal-balik dunia yang sangat saya sukai, sambil berharap hukum ini diterapkan seadil-adilnya saat SNMPTN 2012 nanti (Amien). Walaupun memang masih ada juga bagian-bagian yang memaksa saya terlihat cupu dan bodoh, saya tetap bersyukur akan itu. Ya, dalam lingkup lokal. Mungkin kalau dibandingkan dengan Institut Tau Banyak itu, setahu dirinya saya ya, mungkin saya ini ibaratnya hanya bayi baru lahir yang kebetulan bisa lahir [sedih].


Anyway, saya gak tau ini berita baik atau buruk, karena hasilnya akan berlawanan dalam konteks yang juga berlawanan: saya rasa sekarang saya telah menghargai kuliah saya sebagai bagian dari hidup saya. Ya sih, memang telat kalau saya nyadarnya baru sekarang. Entah karena tuntutan kenyataan atau karena benar-benar menghargai, tapi pemicunya pastilah karena sok mengkultuskan diri bersama Tuan Ilmu Komputer dalam waktu yang cukup lama. Sebulan, poooi.... Mimpi bakal begitu pun saya kagak pernah.

Sejauh ini, bagian yang menarik perhatian dari bidang yang benar-benar jauh bandingannya dengan spek asli saya ini adalah programming. Mungkin kalau orang awam yang mendengarnya terkesan biasa ya, tapi beda ceritanya kalau nyawa-nyawa setipe saya, yang nantinya akan berkomentar: Ampun, Feb. Memang tradisi di lingkungan saya sekarang mengucilkan para programmer, bahkan ada temen saya yang kemampuan programming-nya lebih keren lagi, justru berkampanye begini,"Jangan mau jadi programmer." Bukan karena seorang programmer itu masuk dalam golongan kriminil ---kalau yang ini sih sepertinya hacker yang harus lebih disorot--- walaupun memang para programmer nakal yang kurang kerjaan mendapatkan kesenangan dengan menciptakan dan menyebarkan virus-virus jenis baru melalui dunia maya. Dan bukan juga distributor utama film-film porno [gak nyambung].

Teman saya yang sama turut mengutarakan alasannya,"Programmer itu, walaupun udah bisa juga, udah profesional juga, tetep aja pusing." Maka izinkan saya mensponsori slogan "Programmer is a logic man", karena basis kerja para programmer melulu tentang logika, yang meskipun menguasai berjenis-jenis sintaks bahasa pemrograman, mereka harus selalu putar otak agar menemukan algoritma yang akan menghasilkan program yang tepat (tingkat "berputarnya otak" itu pun bervariasi, biasanya sih semakin tinggi pemasukan maka akan semakin besar "sudut perputarannya" ---makanya terkadang saya kurang setuju dengan quote-quote yang menyatakan kalau komputer lebih mampu diandalkan daripada kepala manusia, padahal yang membangun komputer sampai jadi seperti itu adalah manusia, sehingga harusnya dipikirkan lagi siapa yang lebih pantas dibanggakan, apalagi yang beginian pasti sangkut-pautnya harga diri spesies. Jujur ya, saya mah gak rela jika saya yang dapat energi dari matahari dianggap kalah dari sekumpulan titik solder yang memarasitkan dirinya pada pembangkit listrik [buatan manusia] untuk bertahan hidup). Sayangnya, kebanyakan mahasiswa IT di sekitar saya agaknya merasa haram untuk terlalu dekat-dekat dengan matematika sehingga mereka cenderung melemparkan minatnya ke arah praktisi jaringan atau desainer grafis. Atau malah ke bisnis makanan dan behel (loh?). Jadi, mereka-mereka itu beranggapan bahwa programmer adalah sedewa-dewanya umat, berada di level yang tak terjangkau oleh kekuatan manusia biasa, serta pemakan besi, rotan, biji nanas, tanah humus, dan kulit kayu (kok jadi serendah dekomposer?). Programmer adalah pilihan terburuk; ditambah dengan fakta bahwa gaji golongan ini merupakan yang paling rendah dalam kasta dunia IT, sehingga para peminatnya pun selalu berada di sisi minoritas.

Okelah, itu wajar. Atas dasar "lebih mudah yang mana untuk mencapai kebahagiaan", kebanyakan dari kita tidak ingin merugi dengan memilih merangkai segumpalan kabel selama satu jam atau menciptakan sebuah logo rumit dengan Corel Draw kemudian dibayar dengan nominal yang cukup untuk makan dan bayar kontrakan selama sebulan daripada harus pusing seharian memikirkan program yang dikehendaki klien, yang dibalas hanya dengan uang rokok selama seminggu. Tapi, di mata saya, tetap ada sisi baiknya. Feel yang akan saya dapatkan ketika saya sukses menyelesaikan suatu program, apalagi kalau saya sudah sampai tahap stres-ga enak makan-ga enak minum-gak inget mandi-melakukan percobaan bunuh diri [horor] dalam prosesnya, lalu pada ujungnya ternyata berhasil, wow... itu seperti menancapkan bendera bergambar muka saya di atas gunung paling tinggi di jagat raya setelah jatuh ribuan kali karena badai salju atau hujan batu. Berapapun total jempol yang dimiliki oleh seluruh ras manusia di Bumi gak akan sebanding dengan rasa bangganya. Seperti... mencapai cita-cita. Yah, mungkin gak semuluk-muluk itu, tapi setidaknya saya pernah mencicipi, walaupun masih dalam bentuk "miniatur" dari rasa aslinya. Paling nggak hiburan sedikit untuk saya yang masih dalam perjuangan mengejar apa yang saya impi-impikan.

Saya udah kebanyakan ngobau ya? Hahaha.


Mungkin kali ini saya harus bikin pengakuan. Penjelasan, sebuah konferensi pers (apabanget), yang akan mengumbar penyebab dari kegalauan saya selama ini.

Utamanya adalah karena bisnis, selain faktor saya juga yang mulai sok kepo pada selusin disiplin ilmu yang lain. Saya terfokus untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan meninggalkan persiapan belajar yang dipicu oleh sebuah pertimbangan fatal dimana saya terlalu pede dengan daya ingat yang saya punya. Ditambah lagi dengan siklus sehari saya yang idealnya 50 jam, jadilah salah satu dari ini : bisnis, kuliah, dan masa depan, pasti terbengkalai. Dari galau-galaunya saya sih pasti sudah ketauan yang mana yang jadi korban kan? Maka dari itu, setiap melihat, mendengar, membaui, menjilat, dan menyentuh segala topik yang berkenaan dengan "snelli", yang muncul adalah rasa bersalah karena sampai sekarang saya gak mulai belajar juga. Sebuah cap seenaknya yang mengatakan bahwa saya adalah "mahasiswa yang hidupnya terlalu lurus" semakin membuat hati saya gerah. Padahal kan saya yang sering kabur ke kantin untuk makan somay atau wifi-an tidak setaat orang-orang yang ngebut datang ke kampus setengah jam sebelum kuis untuk memonopoli tempat duduk.

Tapi tenang saja, karena November ini telah saya deklarasikan untuk kembali kepada tujuan dari segala tujuan (konteks "akhirat" tidak termasuk): Sp.BS, yang berarti Spesialis Bokis, atau mungkin Spesialis Bikin Senang (dengan apa gw membuat senang? Mencurigakan) XD

Sayangnya, sampai menyentuh angka seminggu, saya belum sibuk-sibuk juga dengan sains dan kawan-kawan lho. Padahal kan ini...astaga, sudah mau tahun depan. :hammer


Welcome back, SNMPTN!

No comments:

Post a Comment