Sunday, October 23, 2011

Monyet Matdis

Semester dua yang lalu, ketika semua teman-teman gw memplesetkan mata kuliah Matdis (Matematika Diskrit) menjadi Mati Disiksa, sesungguhnya hal itu sungguh beralasan karena gw terjebak dalam konteks yang sama. Gw pernah merasakan apa yang mereka rasakan, yang jujur, itu sakit. Dan terkesan bodoh. Terlepas dari itu memang gw yang bodoh, atau gw yang mudah untuk dibodoh-bodohi [sedih].

Ada suatu soal, sebutlah tentang "monyet dan pisang". Kisah indah ini berawal dari lima orang yang terdampar di sebuah pulau, yang kemudian setelah cecarian seharian, akhirnya mereka menemukan setumpuk pisang (Tau apa? Ketika Sang Dosen mengucapkan "setumpuk" itu, feeling gw langsung berprediksi ria kalau ada yang tidak beres). Mereka berlima pun makan sampai kenyang, kemudian tertidur. Sebelumnya, mereka telah sepakat akan membagi rata pisang-pisang yang masih tersisa besok pagi.

Tapi rupanya terjadi sedikit aksi politis di sini: curang. Pada pukul 00.00, seseorang dari mereka bangun, lalu membagi kumpulan pisang itu menjadi lima bagian. Rupanya setelah dibagi seperti itu, pisangnya tersisa satu, dan satu pisang ini diserahkan begitu saja kepada monyet yang sedang lewat. Inilah klimaksnya, saat seseorang ini mengambil satu bagian, menggabungkan lagi sisanya, kemudian menyimpan bagiannya tadi sendirian. Gw sempat berpikir mungkin semua orang yang terdampar ini berasal dari Indonesia semua karena pada selang satu jam kemudian, seseorang yang lain terbangun, dan melakukan hal yang sama. Benar-benar persis sama, termasuk monyetnya, sehingga pada pukul 04.00 subuh, terdapat total 5 pisang yang menjadi rejeki si monyet. 

Esok paginya, pukul 06.00, sesuai perjanjian, pisang yang tersisa pun dibagi rata. Ternyata masih tersisa satu juga, yang tentu saja, lagi-lagi, diserahkan kepada monyet. Sampai akhirnya pertanyaan pun dilontarkan,"Berapa jumlah maksimum pisang yang tersisa sebelum kecurangan pertama dilakukan?"


Pertama, gw berusaha. Mulai dari menyusun persamaannya kemudian menyelesaikannya dengan logis, hingga putus asa dan mulai mencarinya secara manual dengan bantuan kalkulator. Taksiran jawaban yang sudah gw coba dengan metode terakhir ini sudah mencapai angka 200, bahkan teman sekelompok gw lebih dewa lagi karena dia mencapai nominal 300, tapi tetep aja gak ketemu. Gw pun memasrahkan hidup pada adik kelas gw yang masih SMA, Iyan, yang merupakan langganan Olimpiade Matematika, yang sepertinya turut dibantu oleh temannya, Shofwan, peraih medali perunggu OSN 2010 bidang Komputer.

The final answer : Maaf, gak tahu. Shofwan malah berkesimpulan,"Monyetnya kenyang."


'Sial! Jadi soal macam apa yang dikasih dosen gw ini?!'

No comments:

Post a Comment