Kalau gak salah, gw sempat baca quote ini di Campbell jilid 2 : "Tidak ada gunanya mencari gara-gara dengan insekta, karena sejak awal merekalah tuan rumah di muka Bumi." Kurang lebih maksudnya adalah sangking banyaknya, berlimpahnya, bejibunnya jumlah insekta di planet tercinta ini, jika suatu saat ada perang Human vs Insecta, kita gak akan pernah menang. Bukan "pasti kalah", tapi "gak akan pernah menang" ; bahasa super nyakit yang menandakan kalau harapan bakal terjadi keajaiban Perang Badar itu hanya lelucon. Oleh karena itu, si yang ngomong itu berani mengklaim kalau insekta adalah tuan rumah ; sekaligus menghimbau, sebagai seorang tamu tau diri yang ingin hidup berdampingan dengan baik, sebaiknya manusia jangan buat masalah dengan insekta.
Pernyataan pesimistis ya? Sangat. Tapi memang itulah sikap terbaik yang bisa kita ambil karena rupanya fakta telah membuktikan tanpa hoax. Pikirlah, dari segi daya reproduksi aja mereka jelas lebih dewa, dimana satu ekor bisa beratus-ratus telor per hari ; nah kita cuma ngeluarin satu nyawa aja sampai setengah mati. Mau pemerintah udah sepusing apa menggalakkan program Keluarga Berencana, ternyata masih ada yang lebih gila beranak daripada kita. Hahahaha.
Akhirnya, mau gak mau, suka gak suka, kita hanya akan semakin sebel kalau sudah mulai ngebahas nyamuk. Ucapan pembunuh semangat di awal tadi seolah-olah menjamin dengan kuat eksistensi nyamuk sebagai pemangsa dan kita sebagai... mangsa. Dalam mode gak bersyukur, gw akan bilang,"Betapa miris hidup yang Kau ciptakan, Tuhan."
Jika bukan karena menghormati kesinambungan rantai makanan, gw akan mengunjungi masa lalu, lalu gw hapus spesies durjana yang memulai garis evolusi hewan penghisap darah ini dari peradaban. Tapi ujung-ujungnya gw hanya bisa ikhlas ketika kenyataan gak mau timbal balik menghormati gw. Apalagi setelah perenungan sok penting yang menyadarkan gw bahwa nyamuk-nyamuk itu menggigiti kita guna mempertahankan haknya untuk hidup. Iya, mereka diciptakan Tuhan berarti diberikan HAK UNTUK HIDUP kan? Kemudian gw mendadak kasihan karena untuk sekedar menikmati haknya itu, setiap harinya, setiap individu dari jenisnya, harus berhadapan dengan kemungkinan (1)mati ditepuk orang (2)mati disetrum raket listrik (3)mati diracun obat nyamuk, atau (4)mati kelaparan karena target incaran adalah pengguna setia kelambu atau lotion anti-nyamuk. Itu hidup yang berkali-kali lipat lebih beresiko dibanding kita yang gak perlu dibayang-bayangi peluang tewas demi semangkok nasi (tidak semua dari kita). Kalau gw ada di posisi mereka, gw pasti minta sama Tuhan supaya jangan dilahirkan ke dunia ini.
Saat iklan-iklan televisi menggambarkan nyamuk dengan senyum sinis menyeringai kayak tokoh antagonis di sinetron-sinetron, agaknya itu lebai deh. Mereka itu hanya mau makan lho, bukan rebutan harta warisan. Bayangin kita yang megang piring, lalu nyendok nasi, nyendok ayam, nyendok sayur, dan ngambil segelas air ; apa muka kita sejahat itu??? Gak kan? Justru judge kita yang jahat karena telah menganggap mereka jahat ; padahal nyamuk-nyamuk itu sebenernya gak pernah mau jahat, tapi memang begitulah kodrat mereka. Memang sudah kodrat kitalah makanan mereka. Coba aja cairan yang mengaliri pembuluh-pembuluh kita ini bukan darah, pasti pandangan kita ke nyamuk-nyamuk itu akan lain.
Posisinya sangat seba salah. Kalau mau sok ngerti, kita cuma akan jadi bulan-bulanan. Kalau mau mempertahankan diri, tak pelak kita melibatkan diri dalam lingkaran predatorisme. Dan jika memandang kodrat mereka tadi, kita jadi kayak psikopat sadis, dimana seekor makhluk yang gak bersalah apa-apa, yang hanya berjalan lurus di atas takdir hidupnya, yang cuma berusaha mempertanggungjawabkan keberadaan roh yang diberikan kepadanya, tanpa ada maksud lebih, tiba-tiba kita habisi. Terdengar kejam kan? Sudah rahasia umum sepertinya kalau keseimbangan yang Dia gulirkan untuk menjaga seantero jagat raya tetap bertahan ternyata juga bisa kejam.
Di sudut-sudut kamar gw itu, menetaplah banyak sarang laba-laba. Sebelum sangat mengganggu pemandangan, gw gak pernah berniat untuk merusaknya. Gw baru akan menyingkirkannya kalau area yang di-sarang-i usdah melewati luas teritori yang disediakan tanpa aksi brutal memburu laba-labanya sekalian. Setelah kembali rapi, mereka gw bebaskan untuk membuat sarang baru ; kemudian kalau besar sarang itu sudah lebai, gw bersihkan lagi dengan cara yang sama. Capek ya? Terserah, pokoknya gw gak pernah mau membunuh seekorpun dari mereka ; bukan karena gw sahabatan sama laba-laba, bukan karena gw punya jiwa ke-laba-laba-an, bukan juga karena laba-laba punya kedudukan mistis dalam adat keluarga gw, dan bukan pula karena gw menjadikan laba-laba sebagai jimat agar bisnis gw selalu ber-laba [?]. Entah apakah arti hidup itu terlalu sakral buat gw, tapi... mereka berhak hidup. Begitulah cara mereka hidup. Sekali lagi, mereka buat sarang cuma untuk hidup. Toh gw ini sama dengan mereka ; sama-sama buah kekuasaan Tuhan, sama-sama dikasih raga, sama-sama dikasih jiwa. Perbedaannya hanya pada tingkatan takson yang fungsinya gak lebih daripada suatu upaya agar ilmu pengetahuan itu mudah dipelajari. Nah, jadi siapa gw yang berani merenggut hidup yang telah dianugerahkan untuk mereka? Bukan dewa kan? Para laba-laba itu juga gak pernah membahayakan keselamatan gw ; mereka hanya ingin bagi tempat sedikit untuk bisa tinggal. Lalu apa dasar gw untuk membunuh?
Sesudah kasus nyamuk dan laba-laba ini, akhirnya gw tau kalau sebuah hubungan dengan alam itu sama dalemnya dengan hamblumminallah atau hablumminannaas. Bahkan lebih sulit, lebih bikin galau. Mau bersikap baik salah, mau seenaknya juga salah. Alur perpindahan energi pun gak sanggup menguraikan kekompleksannya. Teori-teori ekologi begitu sangat tidak mapan untuk dijadikan alasan pembenaran.
No comments:
Post a Comment