Thursday, August 18, 2011

Dari Dulu Sampai Sekarang : Saya dan Ramadhan

Ketika gw masih polos skala dewa, saat itulah Ramadhan pertama menghampiri gw yang gak tau apa-apa. Tiba-tiba gw dikasih buku tipis ; yang karena faktor gak tau itu malah gw pake buat kipasan di dalem masjid. Sampai akhirnya gw mengerti apa gunanya buku ini dan mulai sadar betapa hidup gw sangat berat karena harus memburu 30 resume lengkap dengan tanda tangan narasumber dan cap instansinya. Mengingat filosofi 'kalau kamu bisa naik mobil untuk cepat sampai bertemu anak-istri di rumah, lalu kenapa kamu harus jalan kaki?' (entah ini filosofi siapa, anggep ajalah hak patennya ada di seseorang bernama Febrasari Almania), akhirnya gw mulai mengenal apa itu 'mobil'. 'Mobil di jalan tol'. Hahaha. Dari nyalin hasil kerja orang, ngambil dari acara tivi tapi pakai nama tetangga sebelah sebagai penceramah, memalsukan tanda tangan, sampai meminjam stempel risma untuk sementara (tanpa izin tentunya) biar bisa mencap habis semua halaman sekaligus. Gw tersenyum bangga setelah mendapati buku yang bersangkutan telah terisi penuh, tepat setelah gw meng-kopas salah satu artikel dalam buku "Khotbah-Khotbah Idul Fitri" koleksi kakek gw.

Itu 'senyum setan' yang pertama.



Layaknya anak kecil normal yang masih belum bisa berenang melawan arus godaan, maka begitu juga gw yang dengan tanpa bebannya tega batal puasa jam 11 siang cuma karena ngeliat temen makan chiki yang setelah gw rasain ternyata gak ada enak-enaknya sama sekali. Yang cekikikan saat tarawih kemudian pasang muka sok sholeh sehabis salam untuk membohongi para orang tua cerewet di saf terdepan, itu gw (bareng temen-temen ya ; gw gak se-ngeri itu untuk cekikikan sendirian). Mereka yang setelah sahur bukannya duduk manis dan tenang nunggu imsak atau azan tah, tapi malah maen 'roti goreng' (jangan tanya permainan macam apa itu karena gw sendiri sulit menjelaskannya dengan kata-kata), itu pun gw. Lalu golongan kurang ajar yang sering main uberhem di masjid sebelum mulai shalat Isya lalu dengan pedenya bilang,"Saya ganteng" di depan mic mimbar yang masih hidup, itulah gw dan temen-temen gw. Kalau ada manusia yang ngumpulin sajadah jadi satu gulungan besar yang bagian tengahnya tertusuk di sebatang kayu terus manggang gulungan itu di atas api, kemudian setelah cukup harum mulai menikmati gulungan tadi seperti makan kambing guling, nah itu baru BUKAN gw. Obat gila gw habis pun insya Allah gw gak akan bertingkah seperti itu. Gw gak seprofesional itulah dalam menjatuhkan image gw ini di mata publik.


Ramadhan=THR. THR=Ramadhan. Apapun tiket travel dengan 'mobil jalan tol' yang gw miliki selama Ramadhan, tujuannya pasti tetap THR. Dengan segala semangat di dalam hati, gw rela capek keliling komplek rame-rame dengan yang lain, ngedatengin setiap rumah dengan muka kasihan tapi tampan, minta maaf, minta makan, lalu minta uang. Tidak cukup hari pertama, maka misi yang sama akan berlanjut di hari kedua. Begitu selanjutnya hingga pada ujungnya otak bau kencur gw ini mengukur tiap lembaran berharga yang terselip di kantong gw dengan kesimpulan bau kencur juga,'Jumlah segini udah cukup buat beli Blackberry!' Pastinya dengan senyum bangga lagi.

Itulah 'senyum setan' yang kedua.


Disebut 'setan' karena tujuan ber-Ramadhan gw tersirat dalam satu pertanyaan,'Kenapa Ramadhan (baca : THR) tidak terjadi 12 kali dalam setahun?'



Ketika sudah mulai gaya dengan seragam putih-biru, benteng nafsu gw sudah kuat dan gak level lagi untuk tergoda cuma karena ngeliat orang minum es kelapa muda di pinggir jalan. Muncullah juga waktunya saat gw sedikit insaf (entah insaf sendiri atau diinsafi) tentang bonus Ramadhan yang satu lagi : pahala berlipat ganda dan banyak keutamaan lainnya. Tapi 'mobil jalan tol' langganan gw masih enggan untuk mengubah sepenuhnya tempat tujuan utama sehingga diri gw menegakkan sikap 'bonus akhirat oke, bonus dunia juga ayo'. Yah, ada kalanya sikap tamak itu diperlukan juga agar jadi pemenang di segala aspek. Hehehehe.


Anggaplah gw masih dalam fase rehabilitasi sehingga proses perubahan gw ini gak secepat pasangan-selebriti-kawin-lalu-cerai. Memang ada beberapa malam dimana gw kerasukan malaikat entah dari lapisan langit keberapa sehingga gw melibatkan diri dalam kegiatan tarawih walupun ngantuk gak ketahanan, tapi sebagian besarnya masih diwarnai oleh tingkah-tingkah dodol seperti kabur makan bakso setelah selesai ceramah kemudian karena kekenyangan langsung pulang ke rumah, mengunci kamar, terus berakting pura-pura ketiduran. Atau pakai cara lama dimana tetap ngrumpi dengan 'mode bisik-bisik' di saat semuanya sedang tarawih, dengan syarat sedikitnya mengikuti satu gerakan imam paling penting, yaitu salam. Celakanya, jika ada salah seorang aja dari sekelompok permainan gw itu yang kesambet mau shalat, maka sisanya pasti ngelawak sehingga dia yang sok alim ini ikutan ketawa dan gak jadi shalat. Makanya strategi gw kalau lagi mau tarawihan adalah nyempil di barisannya emak-emak. Niscaya temen-temen gw itu mati kutu gak bakal berani ngegangguin. Hahaha.


Zaman-zaman jahiliyah-nya gw itu adalah SMP. Ditambah lagi setelah gw mengenal yang namanya mercon dan petasan. Bodo amat pak polisi mau ngomong apa atau mau masang spanduk bertuliskan "BERMAIN MERCON ATAU PETASAN ITU BERBAHAYA" segede apa, cupu rasanya kalau gw gak pernah sekalipun menyulut sumbu mercon atau petasan itu dengan tangan gw sendiri. Akibatnya, setiap malam ba'da Isya, gw dan segenap kawan-kawan gw, terkadang dengan adek-adek gw yang juga mengikuti, kami main mercon dan petasan sambil nongkrong di PKOR. Berasa kami inilah penguasa PKOR nomor satu, padahal cuma bocah-bocah bau ingus.

Setelahnya segera gw sadari kalau mercon dan petasan ini bisa disulap menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Tanpa perlu waktu lama, gw pun menjelma jadi bandar mercon dan petasan seseantero komplek. Bahkan adek-adek gw merintis karir dengan menjabat posisi distributor utama. Keadaan begini berlangsung hampir 2 tahun ; makanya jangan heran kalau pengetahuan gw sangat mendalam tentang jenis-jenis mercon karena gw memang pernah jadi pakar di bidang itu. Sampai akhirnya ada seorang polisi ganjen ngedatengin rumah gw dan menyita dua bungkus mercon korek. Rupanya ada anak sial yang kepergok lagi main mercon dan menyebutkan nama gw ketika ditanya siapa supplier mercon yang dia pakai. Ya sudahlah, gw biarkan saja pak polisi itu dengan puasnya membawa pergi dua bungkus gw yang berharga tanpa dia tahu kalau tepat di bawah wadah dua mercon yang disitanya itu ada sejumlah besar mercon siap jual dengan kotak rokok sebagai kamuflasenya. Ya, gw ini memang imut, tapi gw tidak bodoh. Hahahahaha.




Entah karena faktor mulai dewasa atau malas mau melakukannya lagi, menginjak SMA, hampir seluruh kebinalan itu gw tinggalkan. Hampir ya, kecuali satu. Hehehe.


Awalnya ini kerjaan jahilnya adek gw yang bungsu, tapi gak urung juga gw ikut-ikutan.

Rumah gw tepat di depan mushala. Selama Ramadhan, penjaga masjidnya yang masih mahasiswa itu dipasoki makanan berbuka dari ibu-ibu se-RT secara bergilir. Jeda antara azan dengan shalat maghrib yang deket pastinya gak memberi waktu cukup buat si penjaga untuk sekaligus ngabisin semuanya dong. Jadi, dia biarinin dulu aja di deket rak buku mushala untuk nanti dimakan lagi. Kabar gembiranya, rak buku yang dimaksud ada di bagian paling belakang mushala. Mudah untuk gw pergi sebentar ke mushala, masuk diem-diem, terus nyomot beberapa makanan tanpa ketauan jemaah yang lagi shalat. Mungkin kalian nanya,"Apa makanan dari rumah gak cukup?" Satu yang perlu gw tegaskan : risolnya selalu enak. Hahahahaha.



Kalau ada pertanyaan,"Di dunia mana gw ini jadi orang baik-baik?", gw gak yakin ada jawabannya. Hahaha. Begini ya, menjadi orang yang berakhlak terpuji itu tentu aja termasuk kriteria dalam membangun hubungan sosial yang ideal dan juga sesuai dengan tuntunan agama, tapi sesekali berbuat nakal itu dibutuhkan guna memberi kesempatan pada jiwa kita untuk menikmati hidup yang indah! Meskipun banyak yang bilang kalau indahnya dunia itu cuma sementara, tapi tetep aja mubazir 'kan kalau kita abaikan begitu aja tanpa pernah kita cicipi sedikit? :P


In this life, this 'irrational' life, good and bad are the same (Donquixote Doflamingo)

No comments:

Post a Comment