Previous : SNMPTN 2011 in Series : H-1
Ketika matahari mulai muncul di ujung sana, saat itu jugalah gw mengalami peningkatan denyut jantung secara tiba-tiba tanpa sebelumnya melakukan aktivitas fisik berarti. Kepala gw mulai memikirkan serentetan doa yang akan gw panjatkan ke Yang Maha Kuasa. Gw mulai terjangkit sindrom-sindrom tidak nyaman dan kemudian melakukan hal-hal tak wajar seperti menceburkan diri ke dalam kuali berisi minyak mendidih (hahaha udah kayak debus aja gw). Gak kok, tepatnya gw menceburkan diri ke kolam berisi penuh asam klorida (yang ini debus juga kaleee). Oke oke, cukup, gw cuma makanin batang pohon kok XD
Hari-H, akhirnya engkau datang juga #mata tajam menantang
Di saat yang sama, hati gw ikutan galau mau ngomong ke ortu dulu atau gak. Secara gw backstreet gitu, dikarenakan gw takut ortu gw gak setuju lalu melarang gw ber-SNMPTN. Lalu gw takut juga kalau-kalau gw membela diri dengan setumpuk idealisme yang gak mereka ngerti, mereka akan khilaf kemudian mencincang gw hidup-hidup, memutilasi tubuh gw dan menguburkan tiap potongnya di tempat terpisah, lalu terakhir mengaku pada tetangga kalau gw meninggal karena demam berdarah. Persis kisah-kisah gagal hubungan orang-tua dan anak yang sering muncul di berita-berita. Tapi sebelumnya gw mau jujur kalau ortu gw gak sejahat itu. Maaf, sepertinya ini semua adalah salah gw yang tidak mampu menguasai imajinasi diri sendiri.
Jadi, pas lagi nyetrika baju, gw sempat ada niat buat ngaku,"Ma..."
Ibu gw nyahut beberapa detik kemudian,"Apa?"
Tiba-tiba keberanian gw langsung lenyap tanpa bekas gak tau pergi kemana. Asem emang.
Tau gak akhirnya gw ngomong apa?
"Botol minum yang aku minta udah dibeli belum???"
Gubrak. Jauh amat ya dari SNMPTN ke botol minum?!
--------o0o--------
Deg-degan hari-H terus berlanjut. Semakin menjadi-jadi seiring semakin dekat gw ke SMK 2 Me*. Jarak antara jalan raya dengan lokasi tes yang lumayan jauh ngebuat spot jantung gw makin parah. Sialan. Dengan symptom dada berdebar-debar gak karuan, gw udah berasa kayak orang lagi jatuh cinta.
-_____-"
--------o0o--------
--------o0o--------
Oh, I love TPA.
Perlu gw beritahu bahwa arti 'love' di sana tidak dalam konteks denotatif, melainkan dalam konteks tanda kutip. Sebagai salah satu lumbung harta tempat mendulang nilai paling utama, sebuah angka tinggi telah gw tetapkan sebagai target pencapaian. Sebuah batas mewah yang dengan semangat berapi-api siap gw wujudkan. Namun ternyata, dengan pahit harus tetap gw terima kalau kenyataan tidak selalu berkata 'yes' kepada kita. Terjadi di tengah-tengah ujian, setalah pertanyaan logika selesai, tanpa pikir panjang gw langsung membuka bagian belakang naskah soal untuk menyikat habis pertanyaan gambar. Tau gak sih, muka gw udah kayak anak kecil dapet THR saat melakukan itu, tapi mendadak langsung berubah jadi wajah frustasi bapak-bapak 40 tahun yang pusing mikirin biaya kuliah anak gadisnya. Jawaban mudah : tidak ada soal gambar. Sepuluh pertanyaan terakhir TPA yang selama ini bagaikan air dari surga sekarang berubah jadi soal-soal analisis. Kepala gw langsung pusing sendiri. Rasanya pengen gw sobek-sobek itu soal terus tiap sobekannya gw tusuk-tusuk jadi sate lalu gw bakar di atas panggangan. Setelah itu akan gw bagikan sate spesial tersebut ke semua orang yang juga depresi kayak gw untuk dinikmati bersama, tentunya dengan harga terjangkau.
God, please help me T_T
--------o0o--------
God, please help me again T_T
Situasi frustasi yang sama kembali menaungi gw saat ujian Kemampuan Dasar. Bahkan gw terlalu galau untuk menentukan apakah soalnya yang terlampau susah atau memang gw yang terlalu lemah. Lagi, gw mencoba menerima konklusi terburuk dalam sejarah : gw memang LEMAH. Sangat lemah sampai salah hitung kayak gini :
*ngebenturin kepala ke tembok*
Kepanikan ikut meramaikan suasana saat ujian mulai memasuki menit-menit kritis. Ditambah dengan soal-soal bahasa yang gak mau bersahabat sama sekali, setelah gw bener-bener nyerah tentang Madas, gw sangat berharap Jibril turun dari langit membawa wahyu yang isinya kunci jawaban. Sampai akhirnya gw sadar kalau urusan Tuhan gak sesepele itu yang memaksa gw untuk berhenti berharap kosong. Jadi, dengan duduk bersila, dimana itu pose paling brutal di antara semua peserta dalam satu lokal yang gw tempati, gw mencoba berpikir jernih. Gw mulai dengan menarik nafas dalam-dalam, membuka mata, lalu membaca teks yang panjangnya naudzubillah kayak kereta batu bara.
-Inget ya semua, status gw masih menarik nafas, belum menghembuskannya [ekstrim]-
Ketika mata gw mulai perih dan berdarah (lebay), gw sibuk mengutuki sepasang manusia yang telah melahirkan si pembuat soal, sembari mengumpat-umpat,'Setan dari selat mana yang ngerasukin kepala orang ini sampe tega ngebuat soal begini ?!'
Sayup-sayup terngiang-ngiang lagu ini di kepala gw...
...
Confusion's all I see
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
...
Short of no correction
Paid my debts to anxiety
The iron lung collapsed from the pressure and the swelling
I can hardly breathe at all
Confusion's all I see
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
Paid my debts to anxiety
The iron lung collapsed from the pressure and the swelling
I can hardly breathe at all
Confusion's all I see
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
...
Confusion's all I see
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
Frustration surrounds me
Solution's bid farewell
Sedation? What the hell
...
Kalau gw menguasai pengendalian api, akan segera gw bakar soal itu di tempat. Dan percayalah, setelah melakukan itu, gw pasti merasa puas.
Makan paku ajalah gw *karena putus asa akhirnya memilih melakukan debus aja*
#galaaaaaaauuuu
No comments:
Post a Comment