*sebenernya, awal-awalnya, aku ini lagi ngerjain tugas Pascal-ku sambil pesbukan. Tapi karena tidak dapat inspirasi, akhirnya aku posting blog aja*
Saat iseng-iseng buka blog, aku terpessssoooona (haha, segitunya) sesaat sama banner "My Blog Fights Climate Change" yang kupasang di sidebar. Tiba-tiba aku mulai mikir (sindrom mahasiswa-sok-berpikir-kritis kumat nih) begini : berapa tahun lagi kira-kira usianya Bumi ini? Satu abad? 10 tahun lagi? Atau ternyata tinggal setahun? Atau mungkin malah besok, karena Pak Bumi kena serangan jantung mendadak dan langsung mati seketika sebelum mendapat pertolongan dokter? #sok nge-horor tapi alasannya gak nyambung.
Kalau mengingat itu semua, entah kenapa hati ini rasanya miris. Dalam perjalanannya, mulai dari zaman purba dimana dinosaurus masih jadi penguasa, dimana paku-pakuan masih dalam masa jayanya sebagai tumbuhan berpostur raksasa, dimana menurut para arkeolog, ras manusia masih mengasah batu sebagai senjata berburu, sampai sekarang, di saat dominasi utama dipegang oleh Homo sapiens yang sangat pandai bicara dan memanipulasi dunia melalui teknologinya, Bumi ini sudah banyak berubah.
Atau tepatnya bukan berubah, tapi dirubah.
Yah, sebenarnya, jika mau ditilik lagi, memang sudah takdirnya Bumi ini untuk berjalan dinamis, memang sudah ketentuan-Nya kalau Bumi akan berubah ke suatu wajah yang benar-benar berbeda dari aslinya. Secara garis besar, Bumi ini toh diciptakan oleh-Nya untuk manusia, agar manusia bisa mengolahnya untuk menyejahterakan hidupnya. Singkatnya, Bumi adalah pelayan manusia ; pelayan yang harus menurut setiap apa kata majikan.
Sayangnya, sebagai ukuran pelayan yang tidak pernah dibayar, rupanya Bumi terlalu baik kepada sang majikan. Di saat sang majikan butuh perlindungan, di saat sang majikan ingin makan, di saat sang majikan kehausan, di saat sang majikan butuh tempat untuk bercocok tanam, di saat sang majikan butuh sedikit ruang untuk mengembangkan ternak-ternaknya, dan di saat-di saat lainnya yang mungkin tak terhitung jumlahnya, Bumi mempersembahkan solusi yang tiada tara : tanah dan langit kami punya segalanya yang kau mau. Simpel sekali ya? Bumi hanya menawarkan dua opsi, tapi ya memang hanya di dua opsi itulah manusia bisa temukan semua-muanya yang mereka inginkan. Dua opsi yang Bumi berikan izin pada kita untuk mengeksploitasinya sebebas-bebasnya.
Tidak perlu diuraikan semua implementasi tanah dan langit yang tersebut di atas dalam kehidupan, karena udara yang kita hirup dan tempat yang kita pijak sekarang saja sudah menjadi bukti bahwa Bumi telah memberikan suatu kenyamanan yang benar-benar pasti.
Namun terkadang manusia tidak memahami sepenuhnya arti kata sebebas-bebasnya, sehingga mereka tidak pernah sadar bahwa mengeksploitasi sebebas-bebasnya berarti siap menanggung resiko dari eksploitasi tersebut sebebas-bebasnya pula. Telah terlihat konsekuensi dari perbuatan-perbuatan anak manusia yang tidak mengenal batas. Aku aja sekarang harus benar-benar mengeluh karena dunia ini panasnya minta ampun. Pergantian iklim di Indonesia jadi semrawut. Tidak ada lagi teori SD 'Oktober-April' atau 'April-Oktober' seperti yang terasa dulu. Kalau baca koran, maka ada titel besar "Banjir Kiriman...", seolah-olah banjir itu sudah seperti item yang bisa di-delivery kemana-mana. Dalam paradigma saat ini, kebanyakan masyarakat (mungkin) lebih menatap hujan sebagai bencana tahunan daripada rahmat Tuhan. Ditambah lagi, ketika musim kemarau, semuanya mengering ; sungai kering, sumur kering, teko air kering, tenggorokan kering, air mata pun mengering karena sudah bosan menangisi kantong yang kering (?).
[yang jelas, jemuran juga kering #haha]
Aku percaya pada Hukum III Newton : untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang besarnya sama namun berlawanan arah. Dalam analogi, setiap kelakuan manusia pada Bumi memberikan sebuah reaksi yang berbalik pada manusia itu sendiri, terserah apakah kelakuan manusia itu bertanda positif atau negatif. Jadi, jika manusia bilang "alam mulai marah", sebenarnya bukan "marah". Bukan karena alam adalah tipe-tipe pembalas dendam, namun sebagai suatu sistem yang dinamis, seperti tubuh manusia yang menggunakan antibodi untuk melawan pengganggu, alam juga selalu memiliki mekanisme tersendiri untuk memperbaiki dirinya. Mekanisme inilah yang menimbulkan reaksi, sehingga alam sebenarnya tidak pernah "marah", tetapi ia hanya mengikuti alur takdir yang telah digariskan Tuhan. Yang kutakutkan hanyalah : untuk setiap aksi negatif, apakah semua reaksi atas balasan dari aksi itu sudah tertumpah keluar semua menimpa manusia ataukah ternyata masih ada yang terakumulasi dalam rencana waktu yang tidak diketahui? Maksudnya begini, Anda tahu teori komunitas klimaks? Kurang lebih begini bunyinya : suatu wilayah yang sudah tidak stabil, entah karena bencana atau tingkah laku manusia, akan mengulang dari awal, untuk mencapai kondisi seimbang sebagaimana lakunya suatu wilayah ideal.
Anda mengerti maksudnya mengulang dari awal?
Ya, benar-benar awal. Kondisi benar-benar awal ini kutekankan bukan sebuah spot yang tepat untuk manusia membangun kehidupan.
Kutekankan pula bahwa kondisi yang ideal itu tidak diwujudkan semudah membuang sampah sembarangan. Anda tahu 'kan seberapa lamanya alam mendidik dirinya sendiri dari pose primitif di zaman purba sampai kepada penampilan necis seperti sekarang?
Mungkinkah di suatu saat yang tidak dapat kuprediksi kapan, seorang anak lelaki bertanya pada sang nenek setelah memperhatikan sebuah bentukan planet melalui teleskop rumahnya,"Nek, apa nama planet yang hitam itu?"
Lalu nenek menjawab,"Itu Bumi, cu. Dulu, Bumi adalah tempat tinggal kita, sebuah rumah indah yang jika dilihat dari sini akan terlihat kebiruan laut dan hijaunya daratan yang sejuk menenangkan. Tapi itu dulu. Sekarang, karena ulah pendahulumu, Bumi sudah tidak boleh kita tinggali..."
Itu jawaban yang menyedihkan, bukan? Aku, bahkan kita, tidak akan pernah mau jika di masa depan, Bumi hanya menjadi penghias di lembar-lembar buku sejarah, yang hanya bisa didoktrinkan kejayaan masa lalunya oleh para guru di kelas-kelas kepada penerus-penerus muda yang mereka sendiri tidak akan bisa merasakan apapun dari tanah nenek moyangnya. Sebuah generasi yang harus di-prihatin-kan, kurasa.
"Save Our Earth" seharusnya bukanlah jargon yang didengung-dengungkan dengan perkasa bila tanpa tindakan. Ancaman lingkungan yang menggeliat di depan mata telah cukup untuk menjadi sebuah sinyal bagi ras manusia untuk sedikit membuka mata dan memikirkan apa yang akan terjadi jika tetap begini. Ya, bukan persoalan yang mudah untuk mengobati Bumi yang sudah sakit-sakitan. Namun setiap usaha selalu berbalas setimpal, seperti Newton menyatakan,
'Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang besarnya sama namun berlawanan arah.'
Jelas, Anda sebagai bagian dari spesies Homo sapiens harus peduli akan hal ini. Makhluk hidup, selalu memiliki hasrat untuk melestarikan jenisnya. Seperti itupun Anda, namun pernahkah Anda berpikir : mampukah jenis Anda hidup sedangkan habitatnya sendiri sudah punah?
Think about it, friends.
Terakhir, pertanyaan "Mr. Earth, Are You Okay?" di atas adalah sebuah pertanyaan retorik.
Tanpa perlu dijawab pun, Anda sudah tahu jawabannya.
Kalau mengingat itu semua, entah kenapa hati ini rasanya miris. Dalam perjalanannya, mulai dari zaman purba dimana dinosaurus masih jadi penguasa, dimana paku-pakuan masih dalam masa jayanya sebagai tumbuhan berpostur raksasa, dimana menurut para arkeolog, ras manusia masih mengasah batu sebagai senjata berburu, sampai sekarang, di saat dominasi utama dipegang oleh Homo sapiens yang sangat pandai bicara dan memanipulasi dunia melalui teknologinya, Bumi ini sudah banyak berubah.
Atau tepatnya bukan berubah, tapi dirubah.
Yah, sebenarnya, jika mau ditilik lagi, memang sudah takdirnya Bumi ini untuk berjalan dinamis, memang sudah ketentuan-Nya kalau Bumi akan berubah ke suatu wajah yang benar-benar berbeda dari aslinya. Secara garis besar, Bumi ini toh diciptakan oleh-Nya untuk manusia, agar manusia bisa mengolahnya untuk menyejahterakan hidupnya. Singkatnya, Bumi adalah pelayan manusia ; pelayan yang harus menurut setiap apa kata majikan.
Sayangnya, sebagai ukuran pelayan yang tidak pernah dibayar, rupanya Bumi terlalu baik kepada sang majikan. Di saat sang majikan butuh perlindungan, di saat sang majikan ingin makan, di saat sang majikan kehausan, di saat sang majikan butuh tempat untuk bercocok tanam, di saat sang majikan butuh sedikit ruang untuk mengembangkan ternak-ternaknya, dan di saat-di saat lainnya yang mungkin tak terhitung jumlahnya, Bumi mempersembahkan solusi yang tiada tara : tanah dan langit kami punya segalanya yang kau mau. Simpel sekali ya? Bumi hanya menawarkan dua opsi, tapi ya memang hanya di dua opsi itulah manusia bisa temukan semua-muanya yang mereka inginkan. Dua opsi yang Bumi berikan izin pada kita untuk mengeksploitasinya sebebas-bebasnya.
Tidak perlu diuraikan semua implementasi tanah dan langit yang tersebut di atas dalam kehidupan, karena udara yang kita hirup dan tempat yang kita pijak sekarang saja sudah menjadi bukti bahwa Bumi telah memberikan suatu kenyamanan yang benar-benar pasti.
Namun terkadang manusia tidak memahami sepenuhnya arti kata sebebas-bebasnya, sehingga mereka tidak pernah sadar bahwa mengeksploitasi sebebas-bebasnya berarti siap menanggung resiko dari eksploitasi tersebut sebebas-bebasnya pula. Telah terlihat konsekuensi dari perbuatan-perbuatan anak manusia yang tidak mengenal batas. Aku aja sekarang harus benar-benar mengeluh karena dunia ini panasnya minta ampun. Pergantian iklim di Indonesia jadi semrawut. Tidak ada lagi teori SD 'Oktober-April' atau 'April-Oktober' seperti yang terasa dulu. Kalau baca koran, maka ada titel besar "Banjir Kiriman...", seolah-olah banjir itu sudah seperti item yang bisa di-delivery kemana-mana. Dalam paradigma saat ini, kebanyakan masyarakat (mungkin) lebih menatap hujan sebagai bencana tahunan daripada rahmat Tuhan. Ditambah lagi, ketika musim kemarau, semuanya mengering ; sungai kering, sumur kering, teko air kering, tenggorokan kering, air mata pun mengering karena sudah bosan menangisi kantong yang kering (?).
[yang jelas, jemuran juga kering #haha]
Aku percaya pada Hukum III Newton : untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang besarnya sama namun berlawanan arah. Dalam analogi, setiap kelakuan manusia pada Bumi memberikan sebuah reaksi yang berbalik pada manusia itu sendiri, terserah apakah kelakuan manusia itu bertanda positif atau negatif. Jadi, jika manusia bilang "alam mulai marah", sebenarnya bukan "marah". Bukan karena alam adalah tipe-tipe pembalas dendam, namun sebagai suatu sistem yang dinamis, seperti tubuh manusia yang menggunakan antibodi untuk melawan pengganggu, alam juga selalu memiliki mekanisme tersendiri untuk memperbaiki dirinya. Mekanisme inilah yang menimbulkan reaksi, sehingga alam sebenarnya tidak pernah "marah", tetapi ia hanya mengikuti alur takdir yang telah digariskan Tuhan. Yang kutakutkan hanyalah : untuk setiap aksi negatif, apakah semua reaksi atas balasan dari aksi itu sudah tertumpah keluar semua menimpa manusia ataukah ternyata masih ada yang terakumulasi dalam rencana waktu yang tidak diketahui? Maksudnya begini, Anda tahu teori komunitas klimaks? Kurang lebih begini bunyinya : suatu wilayah yang sudah tidak stabil, entah karena bencana atau tingkah laku manusia, akan mengulang dari awal, untuk mencapai kondisi seimbang sebagaimana lakunya suatu wilayah ideal.
Anda mengerti maksudnya mengulang dari awal?
Ya, benar-benar awal. Kondisi benar-benar awal ini kutekankan bukan sebuah spot yang tepat untuk manusia membangun kehidupan.
Kutekankan pula bahwa kondisi yang ideal itu tidak diwujudkan semudah membuang sampah sembarangan. Anda tahu 'kan seberapa lamanya alam mendidik dirinya sendiri dari pose primitif di zaman purba sampai kepada penampilan necis seperti sekarang?
Mungkinkah di suatu saat yang tidak dapat kuprediksi kapan, seorang anak lelaki bertanya pada sang nenek setelah memperhatikan sebuah bentukan planet melalui teleskop rumahnya,"Nek, apa nama planet yang hitam itu?"
Lalu nenek menjawab,"Itu Bumi, cu. Dulu, Bumi adalah tempat tinggal kita, sebuah rumah indah yang jika dilihat dari sini akan terlihat kebiruan laut dan hijaunya daratan yang sejuk menenangkan. Tapi itu dulu. Sekarang, karena ulah pendahulumu, Bumi sudah tidak boleh kita tinggali..."
Itu jawaban yang menyedihkan, bukan? Aku, bahkan kita, tidak akan pernah mau jika di masa depan, Bumi hanya menjadi penghias di lembar-lembar buku sejarah, yang hanya bisa didoktrinkan kejayaan masa lalunya oleh para guru di kelas-kelas kepada penerus-penerus muda yang mereka sendiri tidak akan bisa merasakan apapun dari tanah nenek moyangnya. Sebuah generasi yang harus di-prihatin-kan, kurasa.
"Save Our Earth" seharusnya bukanlah jargon yang didengung-dengungkan dengan perkasa bila tanpa tindakan. Ancaman lingkungan yang menggeliat di depan mata telah cukup untuk menjadi sebuah sinyal bagi ras manusia untuk sedikit membuka mata dan memikirkan apa yang akan terjadi jika tetap begini. Ya, bukan persoalan yang mudah untuk mengobati Bumi yang sudah sakit-sakitan. Namun setiap usaha selalu berbalas setimpal, seperti Newton menyatakan,
'Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang besarnya sama namun berlawanan arah.'
Jelas, Anda sebagai bagian dari spesies Homo sapiens harus peduli akan hal ini. Makhluk hidup, selalu memiliki hasrat untuk melestarikan jenisnya. Seperti itupun Anda, namun pernahkah Anda berpikir : mampukah jenis Anda hidup sedangkan habitatnya sendiri sudah punah?
Think about it, friends.
Terakhir, pertanyaan "Mr. Earth, Are You Okay?" di atas adalah sebuah pertanyaan retorik.
Tanpa perlu dijawab pun, Anda sudah tahu jawabannya.
My Blog Fights Climate Change_
No comments:
Post a Comment