Thursday, November 11, 2010

Autobiografi (Short ver.)

Prolog
Ketika seorang bayi perempuan berhasil dikeluarkan dari perut ibunya melalui operasi cesar di sebuah rumah sakit yang terletak di Jakarta pada hari Kamis, 4 Februari 1993 pukul 08.00 WIB, maka saat itulah kelahiran seorang Febrasari Almania.


Masa Kecil
Seorang Febra memiliki sejarah masa kecil yang panjang dan menyenangkan, yang sangking menyenangkannya, memori yang bertugas sebagai pengingat di kepala ini tidak sanggup untuk menyimpan semua kenangan di saat ia masih buta kehidupan itu. Yang jelas, Febra menghabiskan kira-kira 5 tahun pertamanya di kawasan yang sekarang disebut BOGOR. Di sebuah rumah yang sebenarnya tidak nyaman-nyaman amat karena di depannya ada kebun orang yang kalau malam hari suasananya gelap gulita mengerikan seperti pemakaman, sehingga Febra selalu lari ketakutan saat pulang ke rumah sehabis menghadiri pengajian Iqro’ di masjid lalu mengetuk-ngetukkan gembok pagar secara membabi-buta (dan terkesan mengganggu para tetangga) minta dibukakan cepat-cepat karena sebuah anggapan “makhluk halus jahat dari kebon yang akan menyergap Febra dari belakang” (yang saya rasa sekarang) tidak beralasan. Anak kecil. Fuh…


Playgroup
Lupa sekalai (baca : sekali #alay banget) deh nama playgroup-nya apa. Yang teringat sampai sekarang, untuk ke sekolah setiap harinya Febra harus bangun jam 5 subuh. Kegiatan pertama sehabis bangun itu adalah mandi pagi dengan air yang teramat-amat dingin menusuk kulit (seriusan nih). Yah, saya juga gak tahu kenapa anak kecil baru umur 3 tahun bisa tahan air yang suhunya seekstrim itu (sebenarnya tidak bisa dibilang ekstrim juga, tapi itu beneran dingin kok). Saya juga tidak tahu dimana posisinya playgroup Febra itu dengan rumahnya yang di depan kebon berhantu (***imajinasi anak-anak), tapi Febra selalu diantar jalan kaki untuk pergi ke sana.

Satu kejadian yang Febra tahu terjadi saat masa perkuliahan di playgroup (perkuliahan???) : Febra sempat iri dengan teman cowoknya karena si teman mewarnai gambar gajah dengan crayon kuning, bukan crayonnya yang dipermasalahkan, tapi si teman mewarnai bagus sekali dan cepatnya minta ampun.

Juga kejadian menjengkelkan ini yang Febra tahu dari cerita ibunya saat ia sudah beranjak remaja : ternyata saat pengajian itu, Febra sudah mencapai Iqro’ 6, tapi diturunkan lagi jadi Iqro’ 1 karena tidak lancar baca Iqro’ 6 (ustadznya emang killer banget. Sekali salah langsung dimarah-marahin).


Sekolah Dasar
SD itu bisa dibilang sebuah masa perkenalan kepada suatu wilayah baru yang sekarang disebut LAMPUNG. Sebenarnya periode kelas satu sempat Febra rasakan di kawasan lamanya BOGOR, tepatnya di SDN Tugu XI Bogor. Saat SD inilah Febra ditinggal sendirian selama 1 hari oleh keluarga yang duluan hijrah ke Lampung---akibat masih ada ulangan akhir cawu 3 pelajaran Bahasa Sunda. Febra menjalani satu harinya dengan biasa saja, karena memang sehari-harinya selalu ditinggal ayah dan ibunya pergi kerja dari pagi sampai maghrib. Masalahnya mulai muncul saat malam hari. Fantasi “kebon berhantu” mulai membayangi kepala Febra saat matahari mulai terbenam, sehingga Febra diam saja di kamarnya semalaman.


Lampung membawa sedikit keasingan baru untuk Febra : menulis. Ya, Febra mulai mengarang sejak kelas 2 SD karena kesepian belum punya teman. Pertamanya Febra gambar-gambar sayur untuk mengisi masa-masa lajangnya (baca : saat-saat sendirian)---salah satu gambarnya adalah sebatang terong dengan warna ungu cerah---tapi mungkin karena kehabisan akal mau gambar bentuk apalagi, akhirnya Febra melampiaskan pikiran anehnya kepada bidang sastra.

Febra mulai mengenal Tuhan. Sebenarnya sudah tahu apa itu shalat dari pengajian Iqro’ di Bogor, tapi sekarang Febra baru kenal siapa yang disembah saat shalat. Bahasa kasarnya : kalau dulu cuma ikut-ikutan ruku’ dan sujud, sekarang sudah rela sepenuh hati.

SDN 1 Perumnas Way Halim memberitahu Febra tentang sebuah fakta tak populer : rangking 1 adalah sebuah gelar untuk siapapun yang terpintar. Semenjak insiden “rangking 1 tidak tahu kenapa”, akhirnya Febra mulai tuki-tuki mengejar predikat paling prestisius di kelas tersebut. Febra mencicipi apa itu persaingan, dan sungguh sakit hati saat kelulusan karena dikalahkan rival terberat.


Sekolah Menengah Pertama
Sebuah opini tercipta : bukan hanya orang yang joget-joget di lampu merah atau orang telanjang bulat di tengah jalan yang GILA, tapi teman-teman Anda pun bisa saja GILA.

Febra menjalani kehidupan SMP-nya dengan sedikit ke-GILA-an bersama teman-temannya. Kenapa disebut “sedikit”? Karena nantinya Febra akan sadar kalau ternyata anak SMA itu jauh lebih GILA.

SMP Negeri 29 Bandar Lampung menganugrahkan penderitaan bersempit-sempitan ria di dalem bus kota yang dulu tarifnya Rp 1.500/nyawa, tapi sekarang sudah naik dua kali lipatnya sehingga membuat anak kuliahan (Febra@2010 kembali naik bus kota) semakin cekak saja kantongnya. Kebodohan yang benar-benar tidak dibuat-buat : mewakili SMP ikut olimpiade sains, tapi tidak datang saat hari tes dikarenakan ketidaktahuan Febra akan jadwal. Benar-benar tidak tahu karena Febra tidak ikut kumpul saat briefing akibat kepala yang sudah pusing tidak karuan dan tidak tahan ingin pulang. Di saat teman-teman SMP-nya sibuk mengerjakan soal-soal di SMPN 16, Febra tetap di rumah, menikmati mentari pagi anugrah Tuhan dengan santai dan tanpa dosa.


Sekolah Menengah Atas
Hidup ini keras. Itulah yang Febra pelajari di SMAN 2 Bandar Lampung.

Keras tapi indah. Karena kerasnya, makanya jadi indah. Kenapa disebut “indah”? Tanya saja pada diri Anda masing-masing. Ketika Anda mengingat masa SMA Anda dan Anda merasakan kerinduan yang teramat sangat, maka seindah itu jugalah masa SMA Febra, bahkan mungkin lebih indah daripada itu.

Terkadang Febra mau menangis gak jelas kalau ingat teman-teman SMA-nya. Bukan karena kenangan-kenangan yang telah tercipta bersama teman-temannya itu, tapi karena teringat oleh banyaknya dosa yang telah Febra perbuat bersama mereka. Hahahaha. Bercanda kok. Tentu saja kenangannya yang teringat, tapi ya dosanya juga. Hehehe.


Epilog
Jika Anda lihat seorang mahasiswa yang sedang mengorek-ngorek sesuatu mencari makanan basi yang dibuang orang di setiap box sampah Universitas Lampung, maka itu bukan Febra.

Mungkin sekarang Febra cuma seorang manusia yang terkucil di sebuah gedung khusus tempat berkerumunnya anak-anak Ilmu Komputer dan selalu pusing sendiri kalau sudah masuk waktu Dzuhur akibat rambut pendeknya yang selalu dipandang aneh oleh mbak-mbak berjilbab lebar masjid Al-Wasi’i dengan pikiran “ini cowok salah masuk ya?” sehingga memilih untuk sholat di kos-an teman saja (itu pun tidak luput dari tatapan aneh ibu kost yang sepertinya ingin siap-siap menyeret Febra keluar kalau saja Febra tidak bilang,”Saya berasal dari gender yang satunya.”), tapi Insya Allah ke depannya Febra pasti akan jadi orang hebat. Bukan hanya sukses, tapi juga hebat. Janji seorang Febra untuk jadi orang hebat sudah terbilang semenjak masih SMP, dan tentu saja Febra harus menepatinya untuk beberapa tahun ke depan, tentunya dengan izin Tuhan. Amien.

No comments:

Post a Comment