I love sunday morning. Lengangnya jalanan, beserta lenyapnya polisi
dari pandangan, yang itu berarti nol peluangnya untuk tertilang,
sungguhlah sesuatu-sesuatu yang membuat hari menjadi menyenangkan.
Meskipun masih banyak pekerjaan di belakang yang belum selesai, emm...
tepatnya tak terselesaikan bahkan hingga pekan berakhir, that's enough.
Baiknya, semua ini disyukuri dahulu, apalagi setelah kopi duren dan duku
manis terhidang di depan mata, dengan harapan Dia terpuaskan, kemudian,
dengan kuasa-Nya, memaksaku untuk melepaskan
alhamdulillah-alhamdulillah yang lainnya. Amin :)
Tetiba teringat foto seseorang, berjas putih-putih, menggendong bayi di tangan dengan senyum mengembang. Ingin rasanya seketika melabrak beliau yang tau-tau punya anak tanpa mengundangku ke pernikahannya. Namun sebuah caption memutarbalikkan hati, menjungkirkan diri, membuka gerbang iri. Aku pun menyadari bahwa akhirnya sampailah aku pada sebuah fase, yang sayangnya posisiku di sana bukanlah sebagai fulan yang terlibat di dalamnya, melainkan sekedar orang lewat yang, tak bisa tidak, terdecak kagum. Yang, tak bisa tidak, terdiam termenung, mengangankan jalur hidup yang demikian terpampang dan terjamah, untukku. Yang, tak bisa tidak, mengakui penuh-penuh bahwa pengharapan lama itu masih bersikukuh bertahan, menyala, tak lekang hingga sekarang.
Untuk kesekian kalinya, syukur-lah perisai terbaik yang memakuku kuat pada realita. Nyatanya, paragraf lebai barusan berjaya tak satu sekon pun. Dan aku berlanjut menikmati pagi-Mu yang damai, menyentuh sejuk dan segarnya angin, memandikan diri dengan semburan cahaya matahari. And I felt good. Begitu luar biasanya sampai jalan licin becek yang kulalui pun tak mampu merusaknya. Dan aku terseponah, lagi, akan hebatnya Engkau, yang di tengah-tengah suasana serba menyulit ini masih menyerakkan kemudahan dan ketenangan, yang tak perlu uang seabrek-abrek untuk bisa mendapatkannya. Aku mah apa atuuuh tanpa Kamu yak.
In spite of that, I still love Sunday morning.
Actually, I love every morning :)
Tetiba teringat foto seseorang, berjas putih-putih, menggendong bayi di tangan dengan senyum mengembang. Ingin rasanya seketika melabrak beliau yang tau-tau punya anak tanpa mengundangku ke pernikahannya. Namun sebuah caption memutarbalikkan hati, menjungkirkan diri, membuka gerbang iri. Aku pun menyadari bahwa akhirnya sampailah aku pada sebuah fase, yang sayangnya posisiku di sana bukanlah sebagai fulan yang terlibat di dalamnya, melainkan sekedar orang lewat yang, tak bisa tidak, terdecak kagum. Yang, tak bisa tidak, terdiam termenung, mengangankan jalur hidup yang demikian terpampang dan terjamah, untukku. Yang, tak bisa tidak, mengakui penuh-penuh bahwa pengharapan lama itu masih bersikukuh bertahan, menyala, tak lekang hingga sekarang.
Untuk kesekian kalinya, syukur-lah perisai terbaik yang memakuku kuat pada realita. Nyatanya, paragraf lebai barusan berjaya tak satu sekon pun. Dan aku berlanjut menikmati pagi-Mu yang damai, menyentuh sejuk dan segarnya angin, memandikan diri dengan semburan cahaya matahari. And I felt good. Begitu luar biasanya sampai jalan licin becek yang kulalui pun tak mampu merusaknya. Dan aku terseponah, lagi, akan hebatnya Engkau, yang di tengah-tengah suasana serba menyulit ini masih menyerakkan kemudahan dan ketenangan, yang tak perlu uang seabrek-abrek untuk bisa mendapatkannya. Aku mah apa atuuuh tanpa Kamu yak.
In spite of that, I still love Sunday morning.
Actually, I love every morning :)
No comments:
Post a Comment