Tersebutlah K dan G, dua orang yang memiliki latar belakang hidup sama sekali berbeda, di suatu musim yang cerah, menjalin persaudaraan, yang mana hanya Tuhan yang mampu memisahkannya. Meski berbeda jalur darah, kedekatan keduanya terbilang luar biasa. Setiap saat, kapanpun, dimanapun, mereka selalu terlihat bersama. Sampai akhirnya pola seperti ini menghajar publik, yang menimbulkan paradigma baru: ada K, ada G, atau sebaliknya. Dua insan ini bahkan berencana membangun rumah berdampingan, sangking tidak mampunya tak bertemu.
Walaupun hanya dengan berdua, kebutuhan hidup dapat terpenuhi, semua masalah dapat ditangani, dan semua kesulitan dapat dihindari, mereka sadar bahwa tak baik jika mengisolasi diri pada persaudaraan ini semata. Sebelumnya, mereka masing-masing telah memiliki teman-teman yang lain, yang juga senantiasa membantu dan menguatkan, yang oleh karenanya tidak dapat diabaikan begitu saja. Beberapanya bahkan lebih dari sekedar teman biasa, yang berarti kurang ajar sekali jika pesan orang tua berikut dilanggar:"Jangan karena kawan yang baru, kawan lama dilupakan."
Dengan intens tampilnya yang satu di hadapan teman-teman yang lain --yang terkadang turut diajak serta dalam acara informal mereka--, lumrahlah jika muncul anggapan "temanmu temanku juga". Maka itu, seminder apapun K, ia mencoba untuk membawa dirinya. Ditambah dengan gencarnya G mempromosikannya, K pun semakin dikenal. Sejauh ini, ia berhasil. Ia tak canggung. Ia membaur.
Tapi tidak demikian dengan G, padahal K sudah berusaha setengah mati mendekatkan ia pada teman-temannya. Terdapat satu atau lebih... katakanlah, budaya, yang tak cocok dengan dirinya, yang membuatnya selalu tidak nyaman. Itulah sebabnya mengapa paradigma "ada K, ada G, atau sebaliknya" sangat jarang terjadi ketika K sedang terlibat kegiatan bersama teman-temannya. Layaknya tegak kokoh sedinding sekat antara G dan kubu teman-teman K. Sekat yang selalu K harap roboh rata tak bersisa.
Pertanyaannya: jika K tetap kokoh dengan pendiriannya, G-kah yang perlu berkorban, atau jangan-jangan memang K yang terlalu banyak menuntut? Atau barangkali pertahankan saja status quo begini? Sayangnya, di hari-hari belakangan, hati K sedang tersiksa-tersiksanya karena solusi yang terakhir itu.
Jadi?
No comments:
Post a Comment