Wednesday, March 12, 2014

Donat

Dia terbangun di subuh hari, mendapati usia yang bertambah satu ketukan. Sebelum sempat ia mulai perenungan, Beliau sudah muncul di depan pintu. Mencium pipi, sambil mengucapkan selamat, lalu mengeluarkan sepatah-dua patah doa, yang Dia yakin, di dalam hati, Beliau pasti meminta jauh lebih banyak. 

Lalu Beliau tersenyum, seraya bertanya apa yang Dia inginkan di hari spesialnya. Dan, selayaknya biasanya, Dia menggeleng, tanda tak perlu. Kehidupan sangat keras di sisinya, apalagi di sisi Beliau. Dia tahu itu. Dia pun tahu kalau kadangkala seluruh harta yang Beliau punya tidak cukup hanya untuk makan. Maka itulah ia menggeleng. Beberapa kali Beliau meyakinkan, dan berkali-kali itu juga, Dia menolak. 

Baginya, tidak penting hadiah apa yang akan ia dapat. Atau ada hadiah atau tidak. Selama ini, Dia telah didik dirinya untuk tidak banyak meminta. Dia paham bahwa beban berat itu menggelayuti Beliau bertahun-tahun, yang karenanya, sedikit pun, Dia tidak ingin menambahnya. Menambah daftar panjang kebutuhan, yang berarti menambah kencang jerat hutang. Sekali-kali tidak. Sehingga Dia cukup berdoa pada Tuhannya Yang Jelas Maha Kaya. Yang Jelas Punya Segalanya. Yang Jelas Bisa Apa Saja. Yang kepada-Nya ia memohon agar dijadikan manusia yang semakin baik kualitasnya. Apakah itu hati, pikiran, atau perbuatannya. Bukan secara barang yang akan Dia miliki nantinya. Sekali-kali bukan. Sekali-kali tidak.

Sampai akhirnya, Beliau pulang membawa donat. Sekotak donat. Untuk kami bersaudara nikmati ramai-ramai. Walaupun sebatas donat pasar murahan, namun "sebatas" itu pastilah sudah menguras kantong Beliau dengan dalam. Ingin rasanya Dia ceramah saat itu juga, namun urung, karena niatnya menghargai pemberian Beliau, yang murah itu, jauh lebih besar. Beliau mungkin saja berjerih payah lebih kuat daripada biasanya untuk membawa persembahan ulang tahun ini pulang. Dia menghargai, dan Dia turut menghabiskan. 

Hingga Dia sadari sesuatu. 

Kasih sayang orang tua pada buah hatinya seringkali tidak rasional. Begitu pun ibuku. Beliau lebih bahagia menghabiskan kelebihan rezekinya untuk membelikanku sekotak donat, untuk membuat hariku sedikit berbeda, dibanding menggunakannya untuk hajat lain, yang mungkin saja lebih penting. Dan, siapa yang tahu kalau rezekinya memang berlebih waktu itu? Bisa jadi beliau berhutang. Dan beliau lebih bahagia melakukan itu, agar mampu membelikanku sekotak donat, untuk membuat hariku sedikit berbeda, tanpa tahu apakah uang lunas sanggup ada sebelum temponya.

Aku menangis setiap teringat itu. Sehari terhitung sekali. Ada rasa sakit ikut menyelisip ketika tahu kalau segala yang kuusahakan belum bisa membalas dengan layak setitik dari kasih sayang itu. Maka aku meminta, pada Sebaik-Baiknya Penjaga, pada Sebaik-Baiknya Pemelihara, agar beliau selalu disayang, selalu disehatkan, selalu berlimpah hartanya, selalu dimudahkan harinya. Dipanjangkan umurnya supaya aku sempat berbakti padanya. Agar diampuni dosanya dan disiapkan sebuah tempat di surga untuknya.

Dari semua bentuk balasan, apa lagi yang pantas kalau bukan itu semua?

No comments:

Post a Comment