Thursday, February 14, 2013

Malam Minggu Sengit

5 Januari 2013 kemarin, dengan sepakat gw tetapkan, adalah 24 jam paling membosankan di tahun ini. Gw tidak pernah menyangka kalau akan sukses menjadi korban 3 jam perang dingin yang terjadi antara sepasang mantan kekasih. Padahal awalnya hanya sebuah ajakan baik-baik nan bermanfaat via sms: "ayo kita ngerjain laporan mikro di rumah XXX", tapi siapa yang tau kalau sesetelahnya gw menyesal habis-habisan telah meninggalkan kamar gw hari itu.

Sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Gw bahkan secara bahagia mendendangkan bertembang-tembang Sheila On 7 dengan volume suara normal, mengiringi mereka yang sedang---secara bahagia pula---menyaksikan film Perahu Kertas berdua saja di ruang tamu, yang membuat gw terkesan seperti stereo cinta hemat listrik yang pernah ada. It's okay; percuma aja gw menumpuk pengalaman sebagai "pengganti setan" sejak SMA kalau gw gak teradaptasi dengan kondisi begitu. Jadilah kami merasa luar biasa dalam dimensi masing-masing, dimana mereka bersama segala imajinasi ababilnya, dan gw yang berada di state "mood tingkat dewa" mengurusi Metode Numerik.

Sayangnya, semua nuansa menyenangkan itu berakhir saat ba'da Ashar. Tiba-tiba keduanya menunjukkan gelagat tidak mengenakkan, bahkan salah satunya sudah rampung berkemas dan menunjukkan wajah siap angkat kaki sekarang juga. Gw gak tau apakah hati gw mulai bisa mempedulikan orang lain di atas diri gw sendiri, tapi entah kenapa, gw gak bisa menerapkan sikap apatis maksimal gw ketika itu, sehingga GW MERASA SANGAT TERGANGGU karena atmosfer negatif yang keduanya sebarkan di sekitar gw. Passion gw yang tadinya membludak terhadap angka-angka terbunuh sudah. Alhasil, gw pun ikut-ikutan men-shutdown netbook, kemudian keluar ke teras, diam tak bersuara, menunggu mereka berdua selesai saling berbalas argumen via kertas binder -___-

Satu jam, dua jam, dan terus berlanjut hingga azan Maghrib mengudara. Gw sudah membaca semua yang bisa gw baca. Gw gak bisa tidur walaupun hujan deras berbadai turun sore itu. Gw memilih untuk tidak pulang duluan karena gw tidak ingin mengakhiri diskusi mereka yang alot sampai mereka menemukan solusi yang baik. Gw mengeluh dalam hati kenapa gw begitu baik hari ini, dan juga karena gw gak tau apakah bosan ini ada ujungnya atau gak. Puncaknya, sehabis shalat, gw melanglang buana sendirian mencari makan meskipun perut gw gak laper-laper amat. 

Bertepatan dengan melayangnya sepuluh-ribu-gw ke pundi-pundi negara abang bakso, datanglah sepasang orang rempong ini menjemput gw ke tempat makan yang gw datangi. Selain dari yang gw beberkan di atas, satu hal lain yang menjadi sumber kekesalan gw adalah : cuma satu pihak yang tersenyum. Setelah seluruh waktu yang gw korbankan, setelah seluruh energi yang gw kuras untuk memendam kejengkelan, setelah seluruh krik-krik yang gw terima, ternyata yang lain masih tetap terluka---kami sudah berteman cukup lama, sehingga adalah hal mudah untuk gw membaca keadaan hati masing-masing hanya lewat raut muka. Harapan gw tidak bertemu dengan realitanya.

Spontan gw curhat pada Yang Di Atas,'Kenapa begitu sulit untuk membuat dua kepala saja saling mengerti???' Pingin rasanya gw buka forum saat itu juga lantas melabrak secara terang-terangan,"Sebenernya apa masalah kalian?!" Tapi gw gak bisa. Gw memang gak terima begini akhirnya, tapi jika gw lakukan apa yang gw pikirkan tadi, itu sama aja dengan membangkitkan kembali perseteruan yang barusan reda.

Gw pulang. Duduk terpaku dalam perjalanan. Ketika gw mendapati bahwa gw tidak punya cukup adrenalin untuk melakukan apapun lagi, gw pun tidur. Penuh rasa kecewa. 

No comments:

Post a Comment