Thursday, March 1, 2012

Pada Suatu Siang di Sebuah ATM

Seorang anak perempuan menyapa gw dengan muka melas,"Mbak, mau beli gorengan gak?"

Gw teringat dengan seplastik besar gorengan di rumah teman yang akan segera gw datangi setelah urusan dengan ATM ini terselesaikan. Seperti yang sudah kalian kira, opsi yang tersedia untuk gw hanya menolak,"Wah, gak dek."

Lalu, ia berkata lagi,"Beli sih mbak, buat beli buku."

Radar kejujuran gw menganalisis situasi dalam rentang kecepatan cahaya :
  1. Jika dia ini anak dugem yang sedang cekak buat foya-foya atau kehabisan fulus untuk "ngobat", dia gak akan berpikir untuk jualan. Kalaupun mau tetep berdagang, dia gak bakal milih "barang yang gak level dengan gw" seperti gorengan karena untungnya kecil dan proses produksinya ribet.
  2. Style pakaian yang dia kenakan setara dengan gw ; bahkan gw lebih ketinggalan jaman sepertinya karena sepatunya mengikuti trend masa kini. Secara visual, dia sudah tampil apa adanya. Maksud gw, kalaupun dia pengen menyihir semua orang sehingga kasian sama dia, sekalian aja dia pake setelan lusuh ala kaum miskin plus sendal jepit. Iya kan?
  3. Yah, masih berhubungan dengan poin di atas, gw juga kagak tahu kalau, misalkan ya, ternyata dia make baju bagus untuk langsung capcus ke CP setelah mendapatkan harta yang cukup. Tapi, sekali lagi, emang segede apa sih laba dari gorengan itu sampe lo bisa hura-hura??? Bukannya, kalau niat awalnya cuma mendulang uang yang banyak, saran yang gw paparkan di nomor (2) akan lebih efektif?

Oke. Pertahanan hati gw hancur. Entah apakah dia adalah manusia yang bener-bener butuh pertolongan atau siswi SMK yang lagi praktek marketing, yang jelas, DIA BUTUH DUIT. Gw juga gak punya alasan untuk gak ngebantu karena setidaknya dia sudah usaha. Di mata gw, dia lebih terhormat daripada ibu-ibu yang dateng dengan mangkok kosong sambil ngerengek-rengek,"Mbaak, belum makan mbaaaak." Apalagi, tekstur fasial serta kulitnya yang item kesengat matahari itu membawa-bawa memori tentang adek gw di rumah ke dalam kepala gw. Ditambah dengan wajah memohon-nya yang menyedihkan, gw pun miris.

Maka, respon yang gw lakukan adalah menghibahkan uang Rp10.000,- dari kantong gw kepadanya, sambil berargumen,"Buat kamu aja. Kalau saya beli, ntar sayang gorengannya gak ke-makan."

Sialnya, kehidupan nyata tidak seperti sinetron-sinetron Indonesia, dimana gw dengan tampannya bisa bilang,"Uang sekolah kamu, saya aja yang tanggung ya?" 

Dalam perjalanan pulang, gw menyesal. Menyesal karena gak bisa menolong lebih. Dalam bahasa yang lebih gampang, menyesal karena GW BUKAN ORANG KAYA. Serta merta gw me-recall kertas yang gw tulisi dengan 100 impian yang ingin gw raih dan otak gw tertumbuk pada kalimat "My own informal charity foundation". Saat itulah, gw mengutuk diri gw sendiri,'Kenapa yang satu ini tidak mulai gw wujudkan lebih awal?'

Sering gw ngeliat anak-anak kecil yang lagi nawarin koran ke mobil-mobil yang sedang berhenti di lampu merah perempatan. Seketika aja perasaan trenyuh yang berbaur dengan syukur memenuhi rongga dada gw. Di sini gw masih bisa kuliah dengan tenang tanpa harus panas-panasan mengais rezeki seperti mereka. Di sini gw masih bisa pergi ke kampus tanpa harus jalan kaki berkilo-kilo karena gak punya ongkos. Di sini gw masih bisa bermimpi, bahkan jalur untuk mencapai semua target gw itu terbentang lebar di depan gw. Mereka? Mungkin mereka gak punya hasrat lain selain bisa makan dan bertahan hidup. Kalau mikirin itu, gw berasa ditabok. Sesial-sialnya gw yang sudah dapet kursi di suatu fakultas kedokteran namun batal daftar ulang, tetap gw yang lebih beruntung dibandingkan mereka.


Tekad gw goyah. Baru kali itu, ada sesuatu yang mampu merebut kasta "dokter" di hati gw, yaitu "orang kaya". Tiba-tiba gw iri pada segolongan makhluk yang punya mobil. Pada yang punya rumah mewah. Pada yang punya jet pribadi. Pada yang punya aset dan investasi berlimpah. Pada yang punya perusahaan dengan cabang-cabangnya tersebar di seluruh penjuru dunia.

Gw ingin kaya. Sekaya-kayanya gw sehingga gw bisa membantu sebanyak-banyaknya orang yang ingin gw bantu.

Di atas motor, gw smileless. Gw galau, segalau-galaunya galau.

No comments:

Post a Comment