Thursday, December 29, 2011

Go Green 2011 Edition : The Story Was Beginning

Entah sebuah resolusi yang buruk atau bukan ketika saya memutuskan untuk hadir dalam acara Go Green 2011 kemarin.

Awalnya hanyalah permintaan ringan dari mbak Deasy : "Febra ikut ya, divisi Konsumsi cuma dua orang nih." Tidak tahu apa maksudnya "dua orang" itu, karena setelah melihat kenyataannya, terhitung sudah 2..3..4.....6... yah, saya kira ada 7 manusia dari divisi Konsumsi yang hadir di sana. Merasa ditipu? Haha, tidak kok. Bukan masalah mau membantu atau tidak yang menjadi bahan pertimbangan, tapi (sekali lagi saya pertegas) mungkin karena saya yang tidak pernah bisa (baca : TIDAK TEGA) menolak permintaan tolong dari orang lain.

Yah, begitulah gambaran  kronisnya penyakit "mudah" yang saya idap ini.

That's the main factor. Selanjutnya... apa ya? Bukan maksudnya menunjukkan kemulukan akhlak saya, tapi saya bukan seorang junior kurang ajar. Maksudnya, siapa saya sampai senior yang secara segala-galanya lebih dari saya memohon kayak gitu? Bahkan di mata saya sendiri itu gak pantes, dan secara refleks saya mengutuk keapatisan saya di dalam hati. Katakanlah jawaban "Ya" dari saya itu berperan sebagai aksi tebus dosa atas apa yang sudah saya picu.

Setelah diturunkan secara tidak hormat di sebuah persimpangan berlampu merah, langkah demi langkah berat saya titi menuju Museum Lampung. Bukannnya tanpa alasan kata "berat" di sana, karena selain masih bercokol rasa malas di hati ---yang saya lawan habis-habisan demi membuktikan pada kakak tingkat kalau saya bukan pembual yang tidak punya komitmen pada perkataan--- juga karena ada perasaan tau diri. Iya gitu loh, apa pendapat orang jika saya yang tidak pernah hadir saat rapat (yah, kalau gak mau dibilang "parah", partisipasi saya hanya terlihat saat launching panitia dan briefing H-1) tiba-tiba menegakkan batang hidung di lapangan dengan seenaknya mengenakan name tag "PANITIA"??? Jujur ya, saya malu banget saat menandatangani absen yang disodorin mbak Serli. Pasalnya, bersama status saya yang sepertinya "nyaris tak dianggap lagi" ini, beliau masih bisa berkomentar "Alhamdulillah...".

Saya tertabok untuk sepersekian detik.

Berkemas. Dan saya salah satu manusia yang tidak paham dengan kegiatan sederhana seperti ini. Padahal hanya menaikkan seluruh barang-barang antah-berantah yang terkumpul di suatu sudut ke atas truk, tapi rupanya saya terlalu pintar mencari-cari kesibukan sehingga bisa dengan sukses duduk-duduk saja di titik yang dingin, menontoni mereka yang sedang bekerja keras, sambil menghabiskan Grand gelas. Jangan bilang, jangan bilang! Saya tau saya tampan, jadi jangan diumbar-umbar [?]

Jadi, apakah saya pernah bercerita tentang bagaimana serunya naik truk? Memang bagian kaki yang gempor karena enggan mengotori bokong celana dengan pasir yang bertebaran di atas lantai baknya bukan suatu hal yang patut dibanggakan, tapi justru di sanalah sisi positifnya. Jika Anda bermimpi melihat dunia dari spot yang lebih tinggi, maka di sinilah Anda mendapatkan momennya. Beruntunglah karena saya menikmati itu semua dan merasa lebai bersama angin sepoi-sepoi yang sejuknya terkesan dewa. Walaupun tangan saya harus rela menerima panasnya besi pada tepi bak yang terpanggang sinar matahari, it's OK. Saya pikir saya tidak ingin menjalani hidup yang kekurangan melanin.

PS. Alasan bodoh.

Penantian yang panjang dan berliku-liku diakhiri bersama jalur setapak sepanjang 1 km lebih pada pukul 1 siang yang harus kami jelajahi via kaki. Hal barusan tidak berlaku pada Komdis, yang mengawasi kami dari belakang dengan menunggangi motornya masing-masing. Sebenernya truk bisa masuk ke dalam, sampai ke tempat tujuan sesungguhnya, sehingga saya bertanya-tanya,"Fungsinya kami melakukan 'jalan sehat ceria' ini apa?" Saya selalu kesal mengingat watak orang Indonesia yang hobi membuat susah orang lain. Segalanya akan berjalan lebih simpel kan kalau kami tetap ada di atas truk? Sudah menghemat waktu dan tenaga untuk preparasi berikutnya, jelas juga mengurangi investasi berupa bau asem dan keringat yang diproduksi. Ujungnya pun saya hanya bisa berprasangka baik ; memaklumi bahwa sudah jadi trend masa kini dimana "yang berkuasa" tidak perlu bersusah payah sementara "yang tunduk pada kuasa" harus menunjukkan rasa hormatnya dengan memeras butir-butir ATP yang tersedia untuk menggerakkan otot-otot mereka guna melaksanakan keinginan "yang punya kuasa" ---jika tidak ingin disebut : "inilah awalnya ospek terselubung untuk kita".

Hingga saya harus menelan bulat-bulat protes saya tadi setelah melihat faktanya. Saya rasa, medan yang kami temui bukan sesuatu yang mampu dilewati oleh truk dengan muatan padat. Terlalu beresiko ; dan rencana saya bukan untuk bertemu Izrail (-_-)

Sederet pekerjaan menunggu panitia di lokasi. Tanpa waktu istirahat berarti, kami segera berurusan dengan barak Konsumsi, Kesehatan, pindah tas kesana kemari, dan pendirian tenda. Saya sempat menyarankan Tanto untuk membangun tenda dengan bahasa C, tapi sepertinya dia tidak menanggapi anjuran saya #NOTE kalau kalian belum kehilangan kewarasan, baiknya lupakan saja apa yang saya tulis barusan. Saat inilah saya sadar kalau tanggung jawab orang-orang Konsumsi tidak sesederhana membagi-bagi makanan kemudian menghabiskan nasi bungkus yang tidak ada pemiliknya. Bukan, kawan. Dibandingkan dengan divisi Kesehatan yang tinggal menjaga obat-obatan di pos mereka yang damai, atau divisi Kestari yang tidak pindah-pindah dari peserta-panitia-Komdis untuk memastikan pengisian absen, atau divisi Acara yang tidak punya agenda apa-apa lagi, atau divisi Keamanan yang ongkang-ongkang kaki tepat sebelum pintu masuk dengan dalih menjaga kendaraan, divisi Konsumsi masih menyimpan sekian misi yang harus dijamin sukses. Sejalan ya dengan faktanya, dimana nutrisi adalah ciri-ciri makhluk hidup yang selalu disebutkan paling pertama dalam setiap buku teks Biologi, sehingga saya pikir wajar kalau jatah kami secapek ini.

Mungkin akan saya konfirmasikan begini: bagian dari tim panitia yang sama parahnya dengan kami adalah para kakak asuh. Mereka mengatur dan mengkondisikan peserta sepanjang hari untuk menjaga ketertiban, kelancaran, dan keberlangsungan acara. Masalah peserta adalah milik mereka dan sepertinya kesenangan peserta bukan nikmat yang luar biasa buat mereka. Kasihan sih, tapi saya bukanlah orang yang sanggup memberikan simpati; karena jika melihat wajah lelah saya waktu itu, saya juga patut dikasihani toh?

Benar adanya jika dikatakan panitia menggenggam jackpot yang paling berat. Kalau diibaratkan komputer, kami ini prosesornya, yang mengontrol dan mengoordinasikan sistem serta mengolah setiap data yang datang, tanpa henti. Setelah kami ada para peserta, yang perannya sebagai bus,  mondar-mandir kesana kemari sepanjang waktu. Kemudian saya tidak ingin mengomentari Komdis karena mereka sudah cukup baik dengan tidak terlalu banyak menuntut. Yang asik tentu saja para alumni, dimana jabatan mereka adalah user, yang sesukanya memberi perintah tanpa mempertimbangkan bagaimana mati-matiannya usaha mesin untuk mengabulkan keinginan mereka.

Saya selalu punya alasan untuk hal-hal yang membuat saya kesal ya. Jadi jangan anggap kalau saya cuma ngoceh gak jelas tanpa dasar.

Continued to Go Green 2011 Edition : Chocolate Shirt and Sandal.

No comments:

Post a Comment