Saturday, October 15, 2011

Judulnya adalah "Pengabdian untuk Bangsa"

Sebenarnya, semua ini terjadi bukan karena hati gw yang memang tulus mengabdi, tapi lebih karena gw merupakan orang yang baik (atau LEMAH) yang gak tega (atau GAK BISA) menolak permintaan tolong dari orang lain. Kalau diajak berpikir untung-rugi, kurvanya gak akan normal, karena yang satu mendatar, yang lain mencuat sampai gak keliatan ujungnya. Bahasa matematisnya : limitnya gak ada. Ditebak juga boleh, dengan mempertimbangkan gw yang harus tetep bangun pagi padahal habis begadang serta kehilangan waktu untuk "menggila" bersama meja kerja.

Yah, yah, okelah. Mungkin inilah bakti terakhir gw untuk Indonesia. Jadi, apa salahnya?  #parah

Catat ini : bisa jadi apa yang gw ketik di atas benar-benar beralasan. Tau kenapa gw jarang baca koran? Tau kenapa gw gak suka nontonin acara berita? Tau kenapa gw gak pernah kepo-in situs-situs semacam Kompas, Okezone, Vivanews, atau sejenisnya? Selain karena 4shared lebih menarik perhatian, selain karena Spongebob lebih menyenangkan,  selain karena buku-buku sains lebih romantis [?], juga karena gw muak. Muak dengan Indonesia yang begitu-begitu aja. Yang generasi mudanya sering tawuran, yang pejabat negaranya sering korupsi, yang wakil rakyatnya gak peka sama aspirasi, yang pegawai negerinya berorientasi hanya pada gaji, yang para pelajarnya gak pernah gentle dengan kemampuannya sendiri, yang tenaga pendidiknya gak kompeten, yang sopir angkotnya bermoral bejat, yang para penegak hukumnya suka "main belakang", dan yang-yang lainnya yang entah bejibun sebanyak-banyak apa entah.

*selanjutnya gw minta maaf kalau agak bersikap diskriminatif ya, karena sekarang gw sangat tidak berselera untuk mengomentari kinerja para praktisi medis*


Pernah gak merasa miris, sedih, atau sakit ketika ngeliat tipi-tipi itu menyajikan peristiwa-peristiwa ancur-ancuran yang terjadi di Indonesia? Sama, begitu pun gw. Sesungguhnya gw pernah punya rasa bangga sama Indonesia, tapi karena itu semua sedikit demi sedikit rasa bangga yang gak seberapa itu terkikis, dan berganti jadi bosan. Lalu... ya itu, muak. Bahkan gw pernah bilang seperti ini ke temen-temen gw,"Gw gak mau jadi PNS karena gak mau berhutang budi sama negara. Soalnya gak ada jaminan sampai mati gw akan tetap berstatus WNI." Bayangpun, di umur gw yang semuda ini, yang masih menginjak belasan, gw udah berencana terang-terangan untuk pindah kewarganegaraan. Bisa terukur kan skala kemuakan yang gw punya?!

John F. Kennedy pernah berkata begini," Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country." Persetan dengan quote nasionalis begini. Mungkin gak terhitung jumlah nyawa anak bangsa yang udah berusaha memberikan sumbangsihnya untuk Indonesia, tapi perlakuan negara untuk mereka semua tidak mencerminkan timbal balik yang pantas. Contohlah Habibie. Bisa jadi Habibie ini adalah contoh sampel yang muncul sekali per 100 juta kelahiran (di Indonesia)  ; lalu orang bego macem apa yang dengan segitu mudahnya membiarkan dia lari ke Jerman? Ya, alesannya klise, lama, basi : di sini ilmu mereka gak dihargai, makanya mereka berlindung di bawah bendera negara lain.

Gw juga sadar, di sini yang salah bukan Indonesia. Gw sadar banget itu. Yang patut disorot itu moral penghuninya. Rakyat kita ini masih mentingin diri sendiri. Individualisnya gak nahan, bandel, ngeyel, ngerasa paling bener padahal gak tau apa-apa, dan sebagian besarnya membangun kebanggaan di atas nama harta. Gak perlu jauh-jauhlah karena di sekitar gw pun banyak contohnya. Misalnya aja di pertigaan yang biasa jadi tempat nongkrong gw nungguin angkot. Sekarang pertigaan itu di-set jadi jalan dua arah karena sering macet di jam-jam sibuk dengan cara masang sekat berupa plang sama batu di bagian jalan yang gak di-paving. Jadi untuk mereka-mereka yang mau belok ke jalan yang ditutup ini harus muter dulu. Untuk awalnya sih berjalan lancar, tapi saat gw pulang dari kampus beberapa hari sesudahnya, satu plang udah roboh dan celah yang terbentuk dijadiin tempat buat masuk ke jalan yang harusnya tertutup itu. Gak perlu ditebak, jelas jadi macet gak kira-kira. Bahkan setelah plang rusak itu dibenerin pun, masih ada aja yang ngotot belok di tempat yang sama (terutama motor), dengan segala tipu muslihat memanfaatkan bagian jalan sempit yang gak diblok. Liat kan, betapa nakalnya manusia-manusia ini?

Sebutlah gw penerus bangsa tak bertanggung jawab, bodo amat poooi. Kalau udah begini, apa yang mau diterusin? Nerusin kebobrokan? Kalau diibaratkan sebuah sistem komputer, Indonesia ini udah terjangkit separah-parahnya virus dimana antivirus manapun gak ada yang bisa mem-fix-nya lagi, selain instal ulang. Ngerti kan maknanya instal ulang? MULAI DARI AWAL. Kalau terus-terusan begini, percaya banget gw, tinggal duduk manis, sambil minum kopi, lalu lihat keruntuhan Indonesia dengan tenang. Parameternya cuma waktu. Inget boy, waktu.

Tanyalah sama langit, bagaimana kemungkinannya seorang revolusioner? Sama aja, gak tercatat nyawa yang mau merubah kondisi Indonesia ini. Misalnya SBY, yang prioritas utamanya memberantas korupsi. Itu bisa disebut suatu usaha untuk merubah kan? Iya banget ; tapi kenapa coba sampai sekarang korupsi masih menggerogoti tubuh bangsa? Sekali lagi, poin kritis kita ada di moral.   Kalau para anggota kabinet itu kerjanya bener dan kalau para hakim dan jaksa itu berpegang pada etika profesi,  penjara penuh poi sama koruptor! Yang salah akan tetap salah, dan yang benar akan selamanya benar. Gak perlu pakai jargon "perubahan itu proses". Target pembenahan di sini bukan proses, asal tau aja, tapi pelaksananya. User-nya. Proses itu bisa cepat atau lambat, tergantung manusianya, mau pilih "jalan tol" atau "jalan setapak".


Jujur, gw punya dua opsi : menjadi revolusioner yang lainnya atau lari. Pilihan pertama pernah gw pertimbangkan, dulu, ketika gw masih polos. Setelah dipikir-pikir, untuk merombak peta setan yang tergambar di wajah negara ini, jelas gw harus punya wewenang besar atas Indonesia. Kalau posisi gw cuma mahasiswa, yang bisanya demo-demo doang entah didengerin apa kagak, nurunin harga BBM pun nggak. Lalu, karena akhirnya gw tahu kalau politik itu munafik sehingga gw sangat enggan dan menjauhinya, tertutuplah niat gw untuk jadi presiden. Lagian cita-cita besar gw tidak terletak pada tipe-tipe "yang memimpin" kok.

Nah, terlihat kan sikap terakhir yang gw ambil harus gimana?

No comments:

Post a Comment