Entah dengan orang lain, tapi gw lebih suka menyebutnya "idealisme profesi".
Ambillah gw sebagai contohnya. Dengan profesi dokter yang gw cita-citakan, salah satu tujuan gw adalah menyembuhkan pasien sebanyak-banyaknya. Gw pikir itu tujuan yang terlalu mulia jika disandingkan dengan muka gw yang ngelunjak ini. Tapi tetap tampan. Hahahaha. Oke, cukup. Gak tahu alasannya apa, tapi kok berbahaya aja rasanya kalau ada dokter yang punya sifat narsis kayak gini.
Lalu seorang teman bernama Florencia Irena pernah bilang,"Pep, kalo lo beneran jadi dokter, ntar kalo gw jadi istri Presiden, gw jadiin lo Menteri Kesehatan deh." Itu cuma angan-angan super dahsyat masa muda sebenernya, tapi gak ada salahnya kalau gw menganggapnya serius kan? Secepat si teman mengajukan kursi Menkes, maka secepat itu juga gw tolak. Tapi dengan cepat juga dia menurunkan tawaran menjadi dokter pribadi Presiden. Respons gw masih tetap sama dengan gelengan kepala, hingga akhirnya dia selesai dan nanya,"Kenapa?" Waktu itu cuma satu kalimat simpel yang keluar dari mulut gw,"Mau jadi dokter biasa aja...."
Sederhana kan? Cuma dokter biasa gitu lho. Dan gw sadar kalau memang gak gw banget karena yang namanya Febrasari Almania itu selalu menolak untuk jadi biasa. Ya iyalah, sensasi hidup itu gak akan bisa gw dapatkan kecuali gw memilih keluar dari 'lingkaran biasa' itu. Lagipula belum gw pastikan juga kan maksud "dokter biasa" di sana apa?
Menurut suatu teori mudah, semakin tinggi kedudukan seseorang, maka skill manajemen semakin dibutuhkan ; sebaliknya, semakin rendah, maka ia akan semakin berurusan dengan aspek teknis. Setelah gw renungi matang-matang, itu benar adanya. Dengan jadi dokter biasa, kesempatan gw untuk bertemu sebanyak-banyaknya pasien dan mengobati mereka terbuka lebar. Coba bayangin kalau gw memilih jadi dokter pribadi Presiden ; pasien-pasien gw ya itu-itu aja, gak jauh-jauh dari keluarga Presiden dan sanak familinya. Apalagi jadi Menteri Kesehatan? Wah, yang gw pegang di tangan bukan stetoskop lagi, tapi kebanyakan proposal progja kabinet. Semakin dewa posisi gw, pasien akan semakin jauh dari jangkauan gw, yang tentunya tujuan gw akan semakin cocok untuk dicap sebagai keinginan tak terwujud. Ga gak mau itu. Makanya sudah gw tetapkan kalau pencapaian tertinggi yang gw harapkan dari profesi ini hanya kepala divisi bedah suatu rumah sakit. Jabatan begini masih memungkinkan gw untuk bebas ngoprek-ngoprek badan orang.
Jangan pernah ungkit-ungkit gaji tinggi dengan gw karena yang satu ini bahkan gak pernah pantes untuk dijadikan alasan. Gw akan jadi orang tolol sedunia kalau menerima titel Menkes cuma karena duit milyaran, karena itu berarti gw telah melego semua orang sakit yang seharusnya bisa gw tolong. Padahal saat Tuhan meniupkan roh untuk segumpal daging dalam kandungan, Dia gak pernah bilang,"Nyawa kamu harganya sekian." Sia-sia juga tau, udah kuliah lama-lama, hampir sepuluh persennya satu abad, hanya untuk dihasut, dibodohi, atau diperbudak OLEH KERTAS?! Punya harga diri sedikit kenapa? Jelas lebih terhormat seorang dokter biasa daripada si Tuan Menteri Kesehatan yang duduk di kursinya dengan jalan 'menjual diri'-nya.
Bisa ditarik kesimpulan? "Biasa" yang gw maksud adalah kedudukan yang biasa-biasa aja, tapi sekalipun gw gak pernah memperbolehkan kemampuan yang "biasa-biasa aja" juga. Gw lupa menambahkan embel-embel, harusnya "dokter biasa yang luar biasa". Suatu kebanggaan tersendiri kalau ternyata gw benar-benar terbentuk jadi orang besar yang sesuai dengan tujuan. Hahaha.
Oiya, judulnya adalah "orang dewasa yang keren" lho jika mampu mempertahankan idealismenya sampai mati :)
"Do what you love, love what you do"
No comments:
Post a Comment