Tuesday, August 2, 2011

[Untitled]





Setiap lihat dua gambar ini, pasti akan muncul ambiguitas di hati. Selalu antara dua emote : XD atau T_T . Setiap saat itu juga, ingin rasanya memilih ekspresi datar aja. Tapi entahlah, tetap saja tidak bisa. Bagaimanapun juga, masa-masa bahagia lulus dari ujian yang gw alami ini sungguh terlalu indah sekaligus terlalu sakit dimana cuma orang cacat mental yang menganggapnya hanya peristiwa biasa. Atau mungkin emang gw yang terlalu imut untuk sekedar bersikap dingin???

(sebuah sign mulai merebak Narsisvirus)



Pertanyaan besarnya adalah,"Jika membuat keadaan sebegini repotnya, untuk apa juga gw masih ngeliat gambar-gambar ini?" Ya gw pajang di kamar, gimana gak keliatan?!



Tujuan gw nempel printscreen-an pengumuman di depan meja kerja gw bukan untuk meratapi atau menyesali dosa-dosa masa lalu. Mental gw TIDAK tengil, bro. Bukan seorang Febrasari Almania namanya kalau meluangkan waktu untuk hal gak bermutu seperti itu. Tapi, jika kalian perhatikan status-status facebook gw belakangan ini, kentara kalau kondisi psikis gw lagi down, lemah, fragile, serta rentan akan infeksi penyakit-penyakit epidemi. Ya, itu disebut fase 'lebai najis'. Gw perkirakan fase yang gak banget ini mendadak mendominasi sisi batiniah gw karena pengaruh lagu-lagu super melkol yang tiba-tiba jadi sering terdengar padahal setting-an gw sudah shuffle playlist. Akibatnya, imajinasi gw semakin jago dalam mendramatisir keadaan. Rasanya seperti penulis skenario kondang dengan otak kanan brilian daripada seorang remaja unyu. Yah, sekarang gw tegaskan bahwa yang tampak tidak selalu benar. Gw akui memang semua akting ini terkesan cengeng, tapi gw tidak serapuh itu dalam menjalani hidup gw yang rumit ini. Anggep aja saat itu gw lagi cari perhatian. Hahahahaha.



Seseorang sedang mencoba memotivasi jiwanya sendiri. Sekaligus memberi pengingat supaya dirinya ini tetap berada pada 'jalan yang lurus', biar gak pernah terpikir untuk terlalu cepat bilang,"Lo, gw, END!" sama cita-citanya, lalu kehilangan pegangan yang menyebabkannya tersesat ke jalur lain. Hahaha, gw banget (emang gw -_-).



Rasa pertama yang timbul ketika ternyata jadi begini adalah sedih. Jangankan gw, batu aja sedih (lebeh). Nangis? Iya, nangis. Air mata gw bahkan berhamburan kayak uang koin [perumpamaan yang aneh]. Sayangnya, masalah gw ini tidak setepu adegan-adegan sinetron Indonesia dimana datang seorang aktor tampan menawarkan tisu beraroma cinta sambil berkata,"Percayalah, aku akan selalu ada di sampingmu." Tidak juga sebodoh kartun Spongebob dimana ada Patrick yang menghibur dengan mengajak berburu ubur-ubur, makan es krim pakai kaki, atau cari sensasi dengan lagak ngerampok bank padahal akhirnya ngambil duit pake kartu kredit sendiri. Di sini hanya ada gw, yang cepat atau lambat harus bangkit, dengan atau tanpa bantuan orang lain. Dan tanpa galau. Aspek yang satu ini patut digarisbawahi mengingat sudah kesekian kalinya gw galau soal masa depan. Serius gw katakan : galau itu bikin capek. Suatu kerugian besar mengalokasikan sejumlah energi untuk menggalau karena pada akhirnya akan terbuang percuma kalau kita belum ngambil sebuah kepastian. Bukan tindakan bijaksana juga judulnya kalau pikiran gw yang udah gak beres ini dibebani oleh perasaan-perasaan negatif yang itu-itu lagi.



Lalu, kalau sudah begini, cuma ada satu obat ampuh yang bisa menetralkan : ikhlas. Dengan satu ini aja, seluruh suasana hati gak keren akan menghilang dengan sendirinya. Pada dasarnya, hidup gak akan terasa kejam selama disikapi baik. Lagian, gak terlalu sulit buat gw untuk merasa ikhlas karena gw pernah melakukan ini sebelumnya, dalam konteks yang sama, ketika pada tahun lalu kenyataannya gw dihampiri oleh almamater lengkap dengan jurusan yang beda dengan harapan. Cuma aja, untuk saat ini, kadar ikhlasnya harus jauh lebih besar. Logis dong, sebab 'ikan tangkapan' gw kali ini berkali-kali lipat lebih 'mahal' (boleh diartikan secara konotatif ataupun denotatif, hehehe) dan gw harus merelakannya.

Sertakan pula langkah kedua : husnudzon. Kepala gw harus mengikuti hati gw yang sudah sembuh duluan. Gampang juga sih, bayangin aja Tuhan sedang bicara begini,"Masih banyak hal positif yang belum kamu dapatkan di sini. Tinggallah lebih lama lagi." Terdengar seperti jamuan makan malam [?]. Dan karena gw sering sekali kelaparan, maka akan gw sanggupi ini dengan senang hati [??].

Sebagai finishing touch, minumlah Mizone agar badan dan pikiran kembali 100% [???].



Ketika jiwa dan raga gw telah kembali menerapkan pola hidup sehat, maka keputusan yang gw pilih adalah bertahan. Memang terdengar obsesif, tapi gw selalu bersyukur kalau ingat gw punya hati yang keras kepala dan ngotot kayak gini. Suatu sifat yang terkadang menjebak gw dalam adu argumen seru dengan ortu. Gw selalu menolak untuk bersikap realistis, menerima hidup apa adanya dan mensyukurinya ; hal-hal yang selalu mereka dengung-dengungkan di telinga gw sampai gw bosan. Sayangnya, rasa syukur merupakan alasan yang tidak cukup bonafit untuk memaksa gw berhenti mengejar apa yang gw inginkan. Gw juga bukan orang gak tau diri yang lupa gimana caranya bersyukur ; hanya saja, sampai saat ini, keyakinan gw masih kokoh berpendapat bahwa anugerah-Nya yang satu ini akan gw dapatkan kalau gw mau berjuang sedikit lagi. Toh gak ada sesuatu atau seorang pun yang mampu memastikan kalau impian gw ini tidak terjangkau. Lalu, kalau ternyata ini bener rezeki gw? Menyesal adalah jawabannya ketika gw memlih putus asa dan mengikuti opini orang untuk stop dan menikmati segalanya yang tersedia. Sayangnya lagi, gw juga menolak untuk menyesal. Lagipula, banyak yang bilang kalau rezeki itu dijemput, bukan ditunggu. Gw patuhi itu dan gw lakukan. Gw jemput dengan segenap kekuatan yang gw punya apa yang mungkin seharusnya jadi hak gw.


Seperti yang sudah terungkap di atas, modal gw untuk berani meneruskan 'peperangan' cuma keyakinan. Cuma ya? Bagi gw itu bukan 'cuma' karena keyakinan adalah kekuatan terbesar gw setelah Tuhan. Sekarang, dengan keyakinan yang se-ngotak itu, dengan gw yang udah bebal gak nurut-nurut juga walaupun udah 'didoktrin' berkali-kali, dengan hasrat hati yang gak pernah bisa ditawar-tawar apalagi diredam, sangat mungkin ada yang bertanya,"Apakah gw ini gak terlalu optimis? Gimana kalau apa yang gw yakini selama ini ternyata salah? Bukannya rugi namanya kalau udah bertahun-tahun susah payah, eh taunya gagal juga? Kalau gitu, gak cuma nyesel, bahkan nambah sakit aja kan?"  Singkirkan pemikiran kalau-kalau begitu karena itulah sumber kegalauan. Seseorang pernah bilang,"Masalahnya bukan pada keyakinan kita yang benar atau salah, yang akurat atau tidak akurat, tapi apakah keyakinan tersebut bisa menguatkan kita atau malah melemahkan diri kita." Gw gak akan membantah jika disebut kelewat optimis, tapi coba gw balik pertanyaannya,"Apa ada gunanya kalau gw bersikap gak yakin?" Believe you can and you're halfway there. Kalaupun ternyata gw gagal mewujudkan cita-cita, ya sudah, memang begitulah dunia. Ibaratnya duit logam, di samping peluang berhasil, resiko untuk gagal selalu ada dan diri gw sudah sangat siap untuk itu. Kabar gembiranya, rumus "ikhlas + husnudzon" stand by 24 jam untuk membantu gw mengembalikan semangat-meter gw ke titik semula (trust me, it works :D). Plusnya lagi, gw akan dapat kesempatan untuk menumbuhkan akhlak mahmudah dan menumpuk pahala. Gak akan ada rasa rugi, sakit, stres, depresi, kelakuan ekstrim seperti ngunci diri di dalam kamar lalu ngomong sama tembok, atau sejenisnya karena gw telah mencoba sejauh ini dan beginilah hasilnya. Justru sebuah keuntungan karena akhirnya gw dapat kepastian mutlak bahwa ini bukan yang terbaik untuk gw. Selesai sudah era galau ; kemudian gw akan memulai hidup yang nyaman dan tenang dengan fokus kepada sesuatu yang baru.



Pandangan orang-orang yang suka merelasikan "kedokteran" dengan "kaya", "uang banyak", atau "ortu pejabat", atau apalah yang lainnya seakan-akan membentuk sebuah tabu bahwa golongan berfinansial kelas bawah (atau kalau mau yang lebih nyakit lagi, pakai aja istilah "underdog") tidak punya tempat di jurusan satu ini. Selalu muncul rasa ragu bahkan takut terhadap ledakan biaya yang sewaktu-waktu dapat mencuat di tengah-tengah masa perkuliahan. Yang harus dibenahi dari orang-orang seperti ini adalah pemahaman bahwa Tuhan tidak tidur. Selalu ada jalan serta penyelesaian yang baik untuk mereka yang memiliki niat, bersungguh-sungguh, dan berusaha. Selama masih berharap pada-Nya, gak ada yang gak mungkin. Change your thoughts and you change your world :)


Sekapitalis apapun zaman sekarang, gw gak pernah mau membiarkan dunia gw dikurung oleh keterbatasan harta. Gw tegakkan harga diri lalu gw camkan dalam-dalam bahwa gw yang menguasai hidup gw, gw yang menentukan apa yang gw mau, dan gw juga yang memutuskan apa yang akan gw lakukan. Di kerajaan gw, gw lah rajanya, bukan siapa-siapa, atau alasan klasik seperti uang.



Selain faktor cita-cita, merupakan hal yang tidak kalah menarik untuk mematahkan tabu. Setidaknya, visi ini beratus-ratus kali lebih berguna dan menantang daripada sekedar menjelma jadi mahasiswa kupu-kupu ber-IPK mewah yang pada semester akhir telah dikontrak oleh perusahaan IT bergaji tinggi. Agar pada saatnya, ketika terlontar pertanyaan,"Apakah ada seorang dokter yang berasal dari keluarga 'sangat' tidak berada?" maka akan dengan sangat senang gw jawab,"Ada. Sayalah buktinya."

Saat bilang begitu, sangat menyenangkan bukan?





Ada niat ada jalan, Feb. Saya yakin kamu gak akan lupa prinsip hidup paling dasarmu itu. 
Ingat, rodamu masih berputar. Bintangmu masih bisa diubah. Semakin susah ranjau yang kamu hadapi, semakin pantaslah kamu sampai akhirnya Dia gak akan ragu-ragu lagi menghadiahkan kamu posisi yang sangat kamu impi-impikan.

Percaya deh, akan tiba masanya, entah di sini, entah di sana, saat semua kerja kerasmu terbayar lunas sampai ke  suku bunganya.

Tetap menyala, pria panas! XD 
(kalau di negara Api, kurang lebih artinya : Tetap semangat!)


Perjuangan tiada akhir@NEVER end



No comments:

Post a Comment