Monday, May 16, 2011

“Sakit Apa?”

Pada suatu perkuliahan pagi yang indah, di akhir materi, dosen saya yang memang suka berpetuah tiba-tiba ngejayus dengan mengangkat topik berupa perbincangan antara dua mas-mas, sebut saja mas (single “s”) dan mass (double “s”) -_-


Mas : Eh, mas, komputer saya rusak nih, bisa bantu benerin gak?
Mass : Apanya ysng rusak?
Mas : Lho, kok mas malah nanya balik? Kalau saya tau apanya yang rusak, buat apa saya datengin mas?



Mungkin pikiran anda sekalian sudah bisa menebak apa yang ada di kepala saya setelah mendengar tragedi (wooh, tragedi) di atas : ‘iya juga ya’ dan ‘pasti abis ini ngomongin dokter’.


Sama, dokter juga begitu. Kalo pasiennya dateng, pasti yang pertama ditanya,”Sakit apa?”. Lho, buat apa kita dateng ke dokter kan kalo kita tahu sakit apa? Bukannya kita datengin dokter karena kita gak tahu penyakit apa yang lagi nyerang kita?



Nah, hipotesis kedua saya 100% benar kan?


Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saya merasa terpanggil, tertohok, tertawa, lalu tertohok lagi [tertohok versi “galau”]. Entah apakah ini sindrom mahasiswa-sok-berpikir-kritis atau memang otak saya ini sedang kekurangan bahan pikiran, entahlah, tapi buat saya jayusan itu jadi sebuah kerikil masalah yang mampu mendorong saya untuk mencipta sebuah note. Terbayang-bayanglah saat saya kelas 4 SD, berobat sendirian ke puskesmas sebelah sekolah ; ketika registrasi, mbak yang cantik melemparkan pertanyaan yang sama,”Sakit apa?”. Jujur ya, waktu itu saya bingung mau jawab apa. Enaknya kalau bilang “batuk”, “pilek”, atau “cabut gigi”, serentetan derita anak-anak sekolah dasar yang sudah umum. Tapi bukan itu yang saya rasa, sehingga saya katakan saja ini dengan polosnya,”Pusing sama panas.”


Setelah diperiksa (lagi-lagi dokter di ruang periksa tanya,”Sakit apa?”), dapat resep, dapat obat, pulang (masih) dengan wajah pucat, lalu selesai. Khas anak SD yang nyaman dan tidak pernah protes pada keadaan. Namun, jika hal yang sama diungkit lagi sekarang, pertanyaan “Sakit apa?” kok kesannya lucu ya? Harusnya pertanyaan ini dilontarkan oleh siapa dan dijawab oleh siapa, tapi fakta membuka mata kalau yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.


Sebelumnya saya tegaskan kalau teman-teman saya sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan ini. Mungkin memang saya yang terlalu lebay dalam menanggapi. Ya udahlah ya, anggap saja penyebabnya antara 2 alasan yang saya kemukakan di atas : sindrom mahasiswa-sok-berpikir-kritis atau saya yang sedang kekurangan bahan pikiran. Selalu terbuka kemungkinan komplikasi keduanya.



Pertanyaan “sakit apa?” kok kesannya lucu ya?


Oke, mungkin sekarang cuma saya yang menganggap lucu ; dan (besar kemungkinan) sampai terakhir nanti masih hanya saya juga yang menganggap lucu.



Pasien : Permisi, dok. Saya sakit nih.
Dokter : Sakit apa?
Pasien : Lho, kok dokter malah nanya balik? Saya kan datengin dokter karena gak tahu saya sakit apa.



Ini cuma perspektif, kawan. Anda boleh setuju, boleh netral, bahkan boleh protes menentang. Cuma, kalau saya hayati percakapan di atas, entah kenapa si dokter jadi terlihat bodoh di sana. Bukan maksudnya menjelek-jelekkan dokter sebagai pelampiasan sepihak karena tahun kemarin saya gagal masuk Fakultas Kedokteran (anda tahu saya tidak akan pernah menyimpan niat begitu) atau sengaja mencipta pernyataan radikal agar posting ini jadi top news berbulan-bulan (maaf, saya tidak tertarik pada popularitas), tapi memang itu image yang pertama kali melekat di mata. Mata saya ya. Kalau ternyata terlihat berbeda di mata anda , ya silakan saja.



Yang salah di sini bukan siapa-siapa. Bukan pasien yang sok berbahasa dengan baik dan benar, juga bukan si dokter yang sok-sok lemah dalam adu kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Sistem yang terpakai sekarang adalah ini, jadi yang patut ditumbalkan sebagai kambing hitam adalah orang-orang yang telah dengan sok membangun sistem padahal sistem itu sendiri kurang tepat. Segi kurang tepat yang dimaksud adalah kesalahan berbahasa ; sayangnya sejarah sepertinya tidak mencatat siapa nyawa yang pertama kali mengucapkan ‘Sakit apa?’ pada pasiennya sehingga bukan waktunya lagi untuk melimpah-limpahkan kesalahan melainkan memperbaiki sistem yang ada.



Sebuah revisi yang dapat dilakukan adalah mengganti pertanyaan “Sakit apa?” dengan pertanyaan lain yang lebih tepat sasaran. Coba dengan “Apa yang anda rasakan?” atau “Bagian mana yang rasanya tidak enak?”.


1. Dokter : Sakit apa?
Pasien : Panas sama pusing, Dok.

2. Dokter : Apa yang adek rasakan?
Pasien : Pusing, sama panas, Dok.

3. Dokter : Bagian mana yang rasanya tidak enak?
Pasien : Kepala saya pusing, badan saya juga panas.


Dari 3 kasus di atas, dapat dilihat yang mana pertanyaan yang bersifat TEPAT SASARAN.



Tulisan ini tidak bersifat persuasif. Hak anda semua mau mengikuti atau tidak. Toh,tanpa anda mengikuti anjuran saya pun, pasien-pasien anda tidak akan merasa terusik dengan pertanyaan “Sakit apa?” karena hal ini sudah jadi fenomena yang lumrah di dunia medis. Begitu pun saya. Saya bukan lagi seorang anak SD yang harus bingung menjawab saat disodori pertanyaan yang sama sehingga saya tidak akan merasa terganggu lagi dan saya hanya akan diam dalam ketidaktepatan pertanyaan diagnosis yang diajukan seorang dokter (kecuali pada suatu saat nanti muncul ide iseng di kepala saya untuk menjatuhkan wibawa sang dokter dengan menggugat balik pertanyaan “Sakit apa?”). Namun satu hal yang saya tegaskan : peluang anda untuk bertemu pasien yang sok kritis seperti ini TIDAK AKAN tepat nol. Dengan asumsi wilayah operasi anda meliputi kawasan berpenduduk 1000 jiwa, lalu saya ada di dalamnya, maka peluang anda untuk bertemu saya adalah 1/1000. Tapi coba anda ingat, dosen saya juga mengdoktrinkan hal yang sama pada ke-46 teman saya, maka jika kami termasuk dalam list 1000 anda, peluangnya meningkat menjadi 47/1000. Tapi coba ingat lagi karena dosen saya yang handal dalam mencetak calon-calon pasien menyebalkan ini tidak hanya mengajar satu kelas, namun berkelas-kelas dalam satu jurusan itu dan bukan tidak mungkin beliau akan mewariskan pemahaman yang serupa pada kelas-kelas tersebut, sehingga jika yang berkelas-kelas itu tercakup pula dalam 1000 orang yang dimaksud, jelas peluang anda untuk dipermalukan akan lebih besar lagi.


Tunjukkan kalau anda adalah dokter yang menguasai medan. Jadilah dokter yang sempurna dari segala aspek, baik itu aspek pelayanan, aspek pengobatan, tapi tolong lihat-lihat pasien dulu kalau sudah masuk aspek bayaran. Kemahiran berbahasa anda termasuk dalam aspek pelayanan ; seseorang pernah berkata begini pada saya,”Bedanya dokter yang cerdas dengan yang gak cerdas itu di segi pelayanan, Feb”, jadi tata cara Anda bicara bisa menjadi salah satu faktor yang sedikit banyak memiliki nilai lebih dalam penentuan tingkat kecerdasan Anda sebagai dokter.


al-F




No comments:

Post a Comment