Posting ini kutulis sekedar untuk menginspirasi kawan-kawanku semua yang ditakdirkan menjadi dokter.
Aku mau mengembalikan memori ke tahun 1999 dimana waktu itu ibuku nanya : cita-cita kamu mau jadi apa?
Saat itu aku gak bisa jawab. Aku belum ngerti apa-apa.
Nggak lama kemudian, ibuku bilang lagi sambil senyum : jadi dokter aja…
Mungkin waktu itu ibuku cuma nyeletuk doang, tapi beliau gak tahu kalau sesungguhnya beliau baru saja memberiku sebuah impian.
Impian ini terus bertahan dalam waktu lama, bahkan sudah naik tingkat jadi sebuah obsesi. Bisa dibilang sampai sekarang, sampai aku menulis note ini, walaupun sudah sedikit usang.
Kalau boleh berangan-angan ; seandainya aku kuliah di fakultas kedokteran sekarang dan diizinkan Tuhan mengambil spesialis, maka aku mau jadi spesialis apa?
Pertama, aku mau jujur. Mungkin sama dengan kalian ; aku bisa nangis tiba-tiba kalau ngeliat bayi baru lahir. Kuakui, cuma itu satu-satunya hal yang bisa buat aku langsung netesin air mata. Kayak pas nonton film 3 idiots ; pas sampe di bagian anak si rektor yang mau melahirkan, saat si bayi mendadak “oee… oee…”, saat itu jugalah air mataku langsung keluar gak ketahan lagi. Mungkin sebuah peristiwa kelahiran telah berhasil mengetuk sisi perfeksionis yang aku punya ; dimana saat itulah suatu karya sempurna dari Tuhan tercipta ke dunia, menambah besar kekagumanku pada Yang Di Atas sekaligus mengingatkan betapa menyusahkannya aku saat kecil dulu ; sehingga dalam tangis, hatiku turut bilang “maaf” kepada kedua orang tuaku.
Tapi, aku sama sekali gak berminat jadi spesialis kandungan.
Kedua, aku suka anak-anak. Karena mereka polos. Masih berpikir apa adanya dan belum terinfiltrasi doktrin-doktrin luar. Masih bisa senang setiap harinya karena masa kecil itu adalah sebuah periode dimana mereka masih bisa menikmati dunia dan belum punya beban.
Aku lebih suka berurusan sama anak-anak karena merekalah makhluk paling jujur sedunia. Mereka berekspresi sesuai dengan keadaan hatinya ; saat bahagia maka mereka berekspresi bahagia, saat sedih maka mereka akan menampakkan ekspresi kesedihan, saat menggeleng maka itu berarti ‘tidak’, dan saat mengangguk maka itu artinya setuju.
Satu lagi ; aku lebih senang tawa anak-anak daripada tawa orang dewasa. Karena tawa anak-anak itu benar-benar “tawa”, lain dengan orang dewasa yang terkadang punya maksud terselubung lain dalam tawanya.
Tapi, lagi-lagi aku sama sekali gak berminat jadi spesialis anak.
Lalu aku ini mau jadi apa?
Aku cuma mau jadi spesialis bedah syaraf.
Tentu aku punya alasan kenapa memilih profesi yang kedengarannya sulit begitu.
Menurutku, dokter bedah adalah salah satu pekerjaan yang dekat dengan kematian. Para dokter bedah bergelut pada ambang batas dimana hidup dan mati itu hanyalah sebuah garis yang tipis. Mereka berperang dan berpacu dengan waktu serta mencoba mengubah realita yang ada dengan izin Tuhan.
Harapanku saat jadi dokter bedah adalah : jika suatu hari nanti aku takluk kepada kematian---dalam artian segala usaha dan teknik operasiku ternyata tidak dapat menyelamatkan pasienku---aku hanya ingin semakin tunduk di hadapan kuasa-Nya. Aku ingin kematian yang sangat dekat selalu mengingatkanku akan seluruh kesalahan yang telah kuperbuat, sehingga aku tak pernah absen dalam meminta ampun dan bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi makhluk yang bernyawa.
Yang paling penting, aku ingin kematian memacuku untuk lebih banyak belajar, untuk lebih banyak menimba ilmu dan mengasah kemampuan, agar nantinya aku tidak akan kalah oleh kematian yang sama.
Intinya, dengan jadi dokter bedah, aku ingin menjelma menjadi seorang manusia yang lebih baik dari hari ke hari, baik itu dari segi jasmaniah maupun dari segi batiniah.
Lalu, kenapa harus bedah syaraf?
Ini lebih mengarah kepada pendapat yang subjektif.
Berdasarkan perspektifku sendiri, meskipun aku tahu kalau seluruh sistem organ di tubuh ini sama derajatnya, aku menganggap kalau sistem syaraf adalah yang terpenting. Karena jantung tak akan berdetak dan paru-paru tak akan bernafas tanpa adanya rangsangan impuls dari sistem syaraf (diadaptasi dari definisi mati : terhentinya denyut jantung dan pernafasan disertai kematian batang otak), walaupun aku juga tahu kalau neuron-neuron tidak akan bisa bekerja tanpa adanya suplai oksigen dan sari-sari makanan yang diangkut lewat darah. Tapi aku benar-benar kagum pada sistem organ yang satu ini. Bagaimana Tuhan bisa memikirkan dan merealisasikan suatu mekanisme yang terorganisir dan terkoodinir sedemikian hebatnya sehingga aku bisa mengetik dengan leluasa seperti sekarang? Aku hanya bisa merendahkan hati dan berpikir kalau ilmu-Nya tidak akan ada yang bisa menyamai.
Aku menyimpan ketertarikan tersendiri pada otak.
Bayangkan, hanya dengan sebuah bentukan kecil lunak di balik batok kepala, ras manusia mampu membawa perubahan besar pada dunia. Manusia menelurkan kemajuan, memperkenalkan teknologi dan melahirkan peradaban ; bahkan menyebabkan kekacauan terbesar di muka bumi. Nah, kalau sudah begini, nurani kita msing-masing yang mengambil peran. Pada dasarnya, manusia tercipta dengan potensi tanpa batas ; menyertakan nurani dalam potensi itu akan menuntun kita agar tidak salah jalan.
Jadi dokter itu susah ; butuh perjuangan di setiap aspeknya. Tapi memang itulah yang kucari. Aku gak terbiasa hidup mudah, tapi sebaliknya, cenderung memilih jalan yang susah. Karena menurutku, hidup yang terlalu mulus dan selalu enak itu membosankan ; bahkan gak perlu hidup sekalian kalau yang ada hanya datar-datar saja.
Perlu diingat, kita tidak akan pernah bisa melampaui batas diri kita sendiri jika tidak pernah menemui tantangan.
Lalu, kenapa harus FKUI?
Oh, kalau ini sih privacy. Sebenarnya aku gak mau nyebut merk disini, tapi yang jelas aku milih FKUI bukan karena “ingin bareng teman saya” seperti yang diduga orang selama ini. Aku punya banyak alasan di hati dan tak ada satupun dari alasan tersebut yang judulnya “bareng teman”. Jadi, aku mau menegaskan kalau aku pilih UI murni berdasarkan keinginanku sendiri, bukan karena ikut-ikutan.
Sekarang jawab yang satu ini : kenapa aku mau jadi dokter?
Mungkin dulu dokter itu hanya sebuah impian anak-anak yang diberikan oleh ibuku, tapi seiring waktu akhirnya aku menemukan sendiri alasan kenapa aku ingin jadi dokter.
Mari berilustrasi sebentar,
Zaman sekarang udah ada yang namanya jantung dan paru-paru buatan sehingga operasi jantung atau paru-paru bukan lagi suatu hal yang mustahil dilakukan. Mari berandai-andai ; kalau misalnya suatu saat nanti tiba suatu masa dimana otak manusia telah menemukan cara untuk membuat seluruh organ di dalam tubuh kita ini tanpa terkecuali, bahkan sampai kepada pembuluh kapiler dan jaringan syaraf, bisakah nantinya manusia menciptakan manusia? Maka jawabku : bisa saja. Tapi aku selalu ingat, ilmu Tuhan tidak pernah ada yang bisa menyamai. Maka jawabanku lagi : manusia ciptaan manusia adalah “manusia tanpa rasa”.
Kenapa “tanpa rasa”? Karena manusia bukan cuma sekumpulan organ! Kehidupan dengan manusia di dalamnya tidak hanya sekedar tarikan nafas, aliran darah, atau rambatan impuls syaraf ; tapi ada yang lebih penting, yaitu sekumpulan harapan, cita-cita, cinta, dan impian.
Maka sekarang akan kujawab kenapa aku mau jadi dokter : aku mengejar kebahagiaan sempurna versiku sendiri.
Dokter membawa kehidupan (dengan izin Tuhan). Kalau tadi kubilang kehidupan adalah sekumpulan harapan, cita-cita, cinta, dan impian ; maka aku ingin, melalui tanganku ini, aku bisa menyelamatkan banyak orang, aku bisa menghadirkan lagi senyum di bibir mereka masing-masing, dan yang paling penting, aku bisa membawa kembali dan menyambung semua harapan, cita-cita, cinta dan impian para pasienku yang sempat terputus.
Kebahagiaan yang muncul karena telah menyambung semua itulah yang ingin aku rasakan.
Itu yang kusebut sebagai “kebahagiaan sempurna versiku sendiri”.
Mungkin memang terkesan tidak penting. Mungkin banyak pihak yang akan bilang,”Kamu gak akan bisa hidup kalau cuma memenuhi kebutuhan batin saja!”. Terserah apa kata orang. Tapi aku tegaskan, motivasiku untuk menjadi seseorang dengan status dokter bukanlah untuk harta berlimpah, rumah megah, mobil mewah, nama besar ataupun rasa hormat dari para relasi dan tetangga. Aku sama sekali gak butuh itu.
Sekali lagi, aku mau jadi dokter cuma karena ingin bahagia.
Bagaimana dengan kalian? Sudahkah kalian siapkan sebuah alasan kenapa kalian ingin jadi dokter?
--------o0o--------
Aku mau mengembalikan memori ke tahun 1999 dimana waktu itu ibuku nanya : cita-cita kamu mau jadi apa?
Saat itu aku gak bisa jawab. Aku belum ngerti apa-apa.
Nggak lama kemudian, ibuku bilang lagi sambil senyum : jadi dokter aja…
Mungkin waktu itu ibuku cuma nyeletuk doang, tapi beliau gak tahu kalau sesungguhnya beliau baru saja memberiku sebuah impian.
--------o0o--------
Impian ini terus bertahan dalam waktu lama, bahkan sudah naik tingkat jadi sebuah obsesi. Bisa dibilang sampai sekarang, sampai aku menulis note ini, walaupun sudah sedikit usang.
Kalau boleh berangan-angan ; seandainya aku kuliah di fakultas kedokteran sekarang dan diizinkan Tuhan mengambil spesialis, maka aku mau jadi spesialis apa?
Pertama, aku mau jujur. Mungkin sama dengan kalian ; aku bisa nangis tiba-tiba kalau ngeliat bayi baru lahir. Kuakui, cuma itu satu-satunya hal yang bisa buat aku langsung netesin air mata. Kayak pas nonton film 3 idiots ; pas sampe di bagian anak si rektor yang mau melahirkan, saat si bayi mendadak “oee… oee…”, saat itu jugalah air mataku langsung keluar gak ketahan lagi. Mungkin sebuah peristiwa kelahiran telah berhasil mengetuk sisi perfeksionis yang aku punya ; dimana saat itulah suatu karya sempurna dari Tuhan tercipta ke dunia, menambah besar kekagumanku pada Yang Di Atas sekaligus mengingatkan betapa menyusahkannya aku saat kecil dulu ; sehingga dalam tangis, hatiku turut bilang “maaf” kepada kedua orang tuaku.
Tapi, aku sama sekali gak berminat jadi spesialis kandungan.
Kedua, aku suka anak-anak. Karena mereka polos. Masih berpikir apa adanya dan belum terinfiltrasi doktrin-doktrin luar. Masih bisa senang setiap harinya karena masa kecil itu adalah sebuah periode dimana mereka masih bisa menikmati dunia dan belum punya beban.
Aku lebih suka berurusan sama anak-anak karena merekalah makhluk paling jujur sedunia. Mereka berekspresi sesuai dengan keadaan hatinya ; saat bahagia maka mereka berekspresi bahagia, saat sedih maka mereka akan menampakkan ekspresi kesedihan, saat menggeleng maka itu berarti ‘tidak’, dan saat mengangguk maka itu artinya setuju.
Satu lagi ; aku lebih senang tawa anak-anak daripada tawa orang dewasa. Karena tawa anak-anak itu benar-benar “tawa”, lain dengan orang dewasa yang terkadang punya maksud terselubung lain dalam tawanya.
Tapi, lagi-lagi aku sama sekali gak berminat jadi spesialis anak.
Lalu aku ini mau jadi apa?
Aku cuma mau jadi spesialis bedah syaraf.
Tentu aku punya alasan kenapa memilih profesi yang kedengarannya sulit begitu.
Menurutku, dokter bedah adalah salah satu pekerjaan yang dekat dengan kematian. Para dokter bedah bergelut pada ambang batas dimana hidup dan mati itu hanyalah sebuah garis yang tipis. Mereka berperang dan berpacu dengan waktu serta mencoba mengubah realita yang ada dengan izin Tuhan.
Harapanku saat jadi dokter bedah adalah : jika suatu hari nanti aku takluk kepada kematian---dalam artian segala usaha dan teknik operasiku ternyata tidak dapat menyelamatkan pasienku---aku hanya ingin semakin tunduk di hadapan kuasa-Nya. Aku ingin kematian yang sangat dekat selalu mengingatkanku akan seluruh kesalahan yang telah kuperbuat, sehingga aku tak pernah absen dalam meminta ampun dan bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi makhluk yang bernyawa.
Yang paling penting, aku ingin kematian memacuku untuk lebih banyak belajar, untuk lebih banyak menimba ilmu dan mengasah kemampuan, agar nantinya aku tidak akan kalah oleh kematian yang sama.
Intinya, dengan jadi dokter bedah, aku ingin menjelma menjadi seorang manusia yang lebih baik dari hari ke hari, baik itu dari segi jasmaniah maupun dari segi batiniah.
Lalu, kenapa harus bedah syaraf?
Ini lebih mengarah kepada pendapat yang subjektif.
Berdasarkan perspektifku sendiri, meskipun aku tahu kalau seluruh sistem organ di tubuh ini sama derajatnya, aku menganggap kalau sistem syaraf adalah yang terpenting. Karena jantung tak akan berdetak dan paru-paru tak akan bernafas tanpa adanya rangsangan impuls dari sistem syaraf (diadaptasi dari definisi mati : terhentinya denyut jantung dan pernafasan disertai kematian batang otak), walaupun aku juga tahu kalau neuron-neuron tidak akan bisa bekerja tanpa adanya suplai oksigen dan sari-sari makanan yang diangkut lewat darah. Tapi aku benar-benar kagum pada sistem organ yang satu ini. Bagaimana Tuhan bisa memikirkan dan merealisasikan suatu mekanisme yang terorganisir dan terkoodinir sedemikian hebatnya sehingga aku bisa mengetik dengan leluasa seperti sekarang? Aku hanya bisa merendahkan hati dan berpikir kalau ilmu-Nya tidak akan ada yang bisa menyamai.
Aku menyimpan ketertarikan tersendiri pada otak.
Bayangkan, hanya dengan sebuah bentukan kecil lunak di balik batok kepala, ras manusia mampu membawa perubahan besar pada dunia. Manusia menelurkan kemajuan, memperkenalkan teknologi dan melahirkan peradaban ; bahkan menyebabkan kekacauan terbesar di muka bumi. Nah, kalau sudah begini, nurani kita msing-masing yang mengambil peran. Pada dasarnya, manusia tercipta dengan potensi tanpa batas ; menyertakan nurani dalam potensi itu akan menuntun kita agar tidak salah jalan.
Jadi dokter itu susah ; butuh perjuangan di setiap aspeknya. Tapi memang itulah yang kucari. Aku gak terbiasa hidup mudah, tapi sebaliknya, cenderung memilih jalan yang susah. Karena menurutku, hidup yang terlalu mulus dan selalu enak itu membosankan ; bahkan gak perlu hidup sekalian kalau yang ada hanya datar-datar saja.
Perlu diingat, kita tidak akan pernah bisa melampaui batas diri kita sendiri jika tidak pernah menemui tantangan.
Lalu, kenapa harus FKUI?
Oh, kalau ini sih privacy. Sebenarnya aku gak mau nyebut merk disini, tapi yang jelas aku milih FKUI bukan karena “ingin bareng teman saya” seperti yang diduga orang selama ini. Aku punya banyak alasan di hati dan tak ada satupun dari alasan tersebut yang judulnya “bareng teman”. Jadi, aku mau menegaskan kalau aku pilih UI murni berdasarkan keinginanku sendiri, bukan karena ikut-ikutan.
Sekarang jawab yang satu ini : kenapa aku mau jadi dokter?
Mungkin dulu dokter itu hanya sebuah impian anak-anak yang diberikan oleh ibuku, tapi seiring waktu akhirnya aku menemukan sendiri alasan kenapa aku ingin jadi dokter.
Mari berilustrasi sebentar,
Zaman sekarang udah ada yang namanya jantung dan paru-paru buatan sehingga operasi jantung atau paru-paru bukan lagi suatu hal yang mustahil dilakukan. Mari berandai-andai ; kalau misalnya suatu saat nanti tiba suatu masa dimana otak manusia telah menemukan cara untuk membuat seluruh organ di dalam tubuh kita ini tanpa terkecuali, bahkan sampai kepada pembuluh kapiler dan jaringan syaraf, bisakah nantinya manusia menciptakan manusia? Maka jawabku : bisa saja. Tapi aku selalu ingat, ilmu Tuhan tidak pernah ada yang bisa menyamai. Maka jawabanku lagi : manusia ciptaan manusia adalah “manusia tanpa rasa”.
Kenapa “tanpa rasa”? Karena manusia bukan cuma sekumpulan organ! Kehidupan dengan manusia di dalamnya tidak hanya sekedar tarikan nafas, aliran darah, atau rambatan impuls syaraf ; tapi ada yang lebih penting, yaitu sekumpulan harapan, cita-cita, cinta, dan impian.
Maka sekarang akan kujawab kenapa aku mau jadi dokter : aku mengejar kebahagiaan sempurna versiku sendiri.
Dokter membawa kehidupan (dengan izin Tuhan). Kalau tadi kubilang kehidupan adalah sekumpulan harapan, cita-cita, cinta, dan impian ; maka aku ingin, melalui tanganku ini, aku bisa menyelamatkan banyak orang, aku bisa menghadirkan lagi senyum di bibir mereka masing-masing, dan yang paling penting, aku bisa membawa kembali dan menyambung semua harapan, cita-cita, cinta dan impian para pasienku yang sempat terputus.
Kebahagiaan yang muncul karena telah menyambung semua itulah yang ingin aku rasakan.
Itu yang kusebut sebagai “kebahagiaan sempurna versiku sendiri”.
Mungkin memang terkesan tidak penting. Mungkin banyak pihak yang akan bilang,”Kamu gak akan bisa hidup kalau cuma memenuhi kebutuhan batin saja!”. Terserah apa kata orang. Tapi aku tegaskan, motivasiku untuk menjadi seseorang dengan status dokter bukanlah untuk harta berlimpah, rumah megah, mobil mewah, nama besar ataupun rasa hormat dari para relasi dan tetangga. Aku sama sekali gak butuh itu.
Sekali lagi, aku mau jadi dokter cuma karena ingin bahagia.
--------o0o--------
Hidup selalu punya alasan.Bagaimana dengan kalian? Sudahkah kalian siapkan sebuah alasan kenapa kalian ingin jadi dokter?
KenapaAkuMauJadiDokter-by-Alf@end.
I am so inspired, nice (y)
ReplyDeleteMakasih , sangat menginspirasi saat lg down di kedokteran :)
ReplyDeleteWah, i dont know what to say, it fantastic, terima kasih critanya, jdi ingat masa2 2010 pas masuk kedokteran
ReplyDelete